Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Desa Alih Status, Demokrasi Lapis Bawah Tergerus

5 Desember 2014   23:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:57 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berdasarkan data tahun 2012, jumlah kecamatan dan kelurahan  selalu mengalami peningkatan. Kecamatan berkembang karena adanya pemekaran wilayah. Kelurahan bertambah karena selain faktor pemekaran wilayah juga karena beralihnya status desa menjadi kelurahan.  Perubahan status ini memang dimungkinkan untuk mensinergikan program pemerintah setempat, mempermudah penyebaran alokasi anggaran, bahkan bisa karena alasan politis layaknya pemekaran propinsi atau kabupaten.

Ambil contoh di daerah saya. Dulu ciri kelurahan dan desa terlihat dengan jelas. Kelurahan umumnya berada di perkotaan. Biasanya terdiri dari berbagai kampung yang dibangun oleh para perantau atau pedagang sebagai tempat menetap.  Kampung yang terdiri dari berbagai RT/RW ini secara adminsitratif kemudian dihimpun dalam suatu  kelurahan.

Sedangkan desa umumnya berada dipinggiran kota atau pelosok. Dari segi fasilitas umum sampai penerangan memang tertinggal jauh dari kelurahan. Semuanya serba minim, penuh dengan keterbatasan dan kesederhanaan. Namun seperti desa-desa lainnya di tanah air, ada ikatan emosionil yang kuat antar warga. Juga dengan warga desa walau sudah tak lagi berdomisili di sana. Budaya pulang kampung ketika lebaran, hajatan, ritual adat serta pemilihan kepala desa, selalu diikut dengan antusias sekedar melepas rindu atau karena tak mau terbuang secara adat.

Saya dan anda mungkin ingat ketika kecil dulu. Suasana desa menjadi meriah jika diadakan pemilihan kepala desa. Demokrasi  benar-benar tumbuh walau terkadang dihiasi oleh ketegangan, bahkan sampai  adanya pertumpahan darah. Namun  persentase “demokrasi berdarah”  tadi lebih sedikit dibanding dengan “demokrasi berbudaya”. Warga desa kebanyakan mau menerima kekalahan dari calon mereka dalam pilkades.  Mereka tak sungkan menghadiri pesta atau sedekah kemenangan pihak lawan demi merajut kembali kerukunan di antara mereka. Keihlasan dalam menerima, kerukunan dan keluguan warga desa dalam berdemokrasi, saya pikir masih  melekat erat dalam pikiran kita semua.

Tetapi sekarang?

Desa dipaksa zaman untuk berubah. Dipaksa untuk mengikuti keinginan pejabat setempat demi alasan tertib administratif, mempermudah pelayanan atau pembagian alokasi anggaran. Desa diubah status menjadi keluarahan. Pemimpin tak lagi dipilih oleh warga , tapi ditunjuk oleh pejabat setempat dengan pertimbangan tertentu, baik administratif, ekonomi bahkan pertimbangan politis.  Warga tak lagi berhadapan dengan Kades yang menyelesaikan masalah dengan kekeluargaan, tapi terpaksa berhubungan dengan lurah dengan segala birokratisnya yang terkadang panjang dan ruwet.

Satu sisi,  perubahan status itu memang mempermudah warga desa  dalam menerima bantuan dari pemerintah melalui kepemimpianan lurah. Namun di sisi lain, perubahan  status  desa menjadi kelurahan membuat demokrasi ala desa yang selama ini dijunjung tinggi memudar terlindas zaman.

Sampai kapan desa mampu bertahan?

Salam Ndeso!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun