Sebuah SMS yang tidak dikenal saya terima kemarin sore. Isinya, Hukum karma sudah berlaku di Manado. Kampung Angie disapu banjir, demokrat tinggal cerita, masih percaya kita dengan mereka?
Saya tersenyum membaca SMS tersebut. Ingin membalasnya tetapi merasa tak gunanya. Nomernya tidak saya kenal. Nomor pribadi. Biasanya mereka pemilik nomor ini susah dilacak. Tujuannya mungkin untuk menyembunyikan identitas, menyerang orang lain dengan kalimat teror, menjatuhkan seseorang dengan penyesatan opini. Dan tentu ingin mengobarkan permusuhan dengan seseorang atau kelompok yang tidak disukainya.
Namun saya juga merenung dengan isi SMS tersebut sehingga memunculkan pertanyaan menyangkut kejadia tersebut. Benarkah hukum karma terjadi di Manado akibat kesalahan Angie dan banjir yang di Jakarta akibat kegagalan Jokowi atau gubernur sebelumnya? Dengan cepat insting saya mengatakan tidak. Bagi saya mustahil seseorang yang melakukan kesalahan maka orang lain yang menanggung akibatnya. Mustahil Tuhan menjatuhkan cobaan pada warga Manado karena Angie melakukan korupsi. Tak masuk akal banjir menyerbu Jakarta karena Jokowi dianggap lalai menunaikan amanah. Anggapan seperti ini sudah menyimpang dari maksud hukum karma yang sebenarnya
Konsep hukum karma sendiri diyakini berasal dari India kuno dan banyak manusia zaman sekarang yang mempercayainya dan melestarikan konsep tersebut. Dalam konsep “karma”, semua yang dialami manusia adalah hasil dari tindakan kehidupan masa lalu dan sekarang. Efek karma dari semua perbuatan dipandang sebagai aktif membentuk masa lalu, sekarang, dan pengalaman masa depan. Hasil atau ‘buah’ dari tindakan disebut karma-phala
Konsep ini sangat jelas dan dapat dimengerti walau tak harus diyakini sepenuhnya karena menyangkut kepercayaan masing-masing. Dalam kasus banjir Manado dan Jakarta konsep ini tertolak. Sebab dan akibat menyimpang dari konsep yang ada. Kesalahan yang dilakuakn seseorang tak mungkin dibebankan pada kaumnya. tetapi bisa jadi kesalahan kaum/negeri akibatnya juga dirasakan pada seseorang yang tak berbuat tetapi berada dalam komunitas kaum tersebut. Intinya dalam hukum karma, semua perbuatan seseorang efeknya kembali pada yang berbuat.
Karma seorang perokok akan kembali pada dirinya bukan pada istri dan anaknya. Karma seorang penjudi akan kembali pada surut hartanya bukan dengan habisnya harta tetangga. Karma parpol yang curang akan kembali pada parpol tersebut dibilik suara. Dan karma politisi busuk, politisi korup, politisi suka bergunjing, atau suka memfitnah seseorang juga akan menimpa dirinya, bukan partai atau keluarganya.
Contoh relevan dari karma yang dimaksud adalah pernyataan mantan pentolan partai demokrat menyikapi kasus yang menimpaSutan Bathugana. Pasek meminta yang bersangkutan intropeksi diri karena disebut-sebut terlibat kasus korupsi di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Di mata Pasek, kejadian itu bisa jadi adalah hukum karma.
Pasek bukan bicara tanpa dasar. Dalam berbagai pernyataannya Bathugana sering memojokan seseorang dalam perkara korupsi. Dan sekarang giliran yang terpojok dalam perkara yang sama. Karma seperti ini jelas masuk akal karena perbuatan seseorang akan dibayar tunai dengan akibatnya. Menyangkut banjir Jakarta dan Manado, selain kehendak alam, itu karma yang ditujukan pada kedua kota tersebut yang enggan bersahabat dengan lingkungan.
Lalu karma seperti apa yang akan menimpa politisi dan partai korup lainnya? Jawabannya terungkap setelah hasil penghitungan kotak suara resmi diumumkan. Konstituen atau pemilih berhak (malah wajib) menjatuhkan karma tersebut tanpa tekanan atau paksaan.
Bacaan :
Disebut Korupsi, Pasek Minta Sutan Koreksi Diri