Mereka baru memadamkan api setelah masyarakat mengadukan adanya tiga "tanda-tanda kebakaran" pada tayangan yang mereka tonton. Persis  polisi film India. Tunaikan tugasmu setelah aktor utama babak belur.
Sederhananya, apabila satu dari tiga barang bukti ini sudah didapat, maka KPI wajib menjalankan tugasnya. Tak perlu menunggu alarm dari publik. Bahasa daerah saya Pagaralam, Sumsel, buang jauh-jauh tabiat "budi pacalan", bekerja apabila dilihat atau dipantau. Lepas dari pantauan kembali jadi pribadi yang pemalas. Â
Dan sekarang, jika KPI akhir-akhir ini jadi sorotan berkaitan dengan ide radikalnya bekerja lintas tugas dan fungsi, seperti mengawasi konten-konten digital terkini (facebook, WA, instagram, youtube, netflix etc), maka jangan salahkan publik mengkritiknya dengan muka cemberut.Â
Bukan karena keberatan, tapi UU-nya dulu yang dibikin, didiskusikan, didebatkan dan setelah klop baru disosialisasikan. Jangan menggunakan rumus mentang-mentang. Kerja dulu, aturan belakangan.
Sudah jamak  di mata publik, kinerja KPI selama ini dianggap belum begitu memuaskan. Masih banyak tayangan yang melanggar slogan "Tidak, tidak dan tidak" tadi yang  lolos sensor. Di kategori tidak pantas, iklan-iklan yang sensual dan memancing libido masih juga berseliweran. Oke, sensual atau tidak ukurannya relatif. Biarlah menjadi ruang debat penghamba dunia dan pecinta akhirat sampai kiamat.Â
Tapi bagaimana dengan adegan-adegan sinetron, misalnya bermesraan di tempat tidur, mengintip orang mandi, pantaskah tayang di jam utama di saat anak-anak belum selesai mengerjakan PR? Mungkin pantas bagi pengiklan, tapi tidak pantas bagi orang tua.
Lalu mungkin KPI membela diri. Kalau ukurannya pantas atau tidak pantas, bukankah adegan seorang anak yang memarahi orang tuanya juga tidak pantas menurut agama? Aduh, kepala saya serasa dipentung beneran.
Okelah. KPI boleh berdalih. Mereka kurang personil. Mustahil bisa memantau tayangan televisi selama 24 jam. Kambing saja butuh istirahat. Apalagi manusia. Â Atau menggunakan dalih yang sensitif. Anggaran belum memadai. Gampang kok. Tinggal usulin. Kalo disetujui, berpestalah kalian dengan meningkatkan kinerja. Apa susahnya?
Menjadi janggal memang, ketika KPI dianggap belum maksimal melindungi publik dari tayangan negatif, KPI sekarang malah minta tugas tambahan : mengawasi konten digital yang berseliweran di media digital.Â
Oke-oke saja kalo tugas bertambah anggaran berkurang, tapi kalo makin membengkak, sementara pengaduan masyarakat kerap direspon dengan lambat, apa iya publik ikhlas merelakan sebagian uang pajak mereka untuk menggaji mereka?
Tak ada dusta di antara kita. Publik masih menaruh harapan pada FPI, eh KPI. Jadi bekerja saja dengan maksimal. Tak usah menangani konten-konten digital yang lain.Â