0 Advanced issues found▲
Seorang wanita yang ingin terlihat lebih cantik dari keadaaan sebenarnya adalah hal lumrah. Terlihat cantik di mana saja. Cantik di rumah bikin suami betah memandang, cantik di lingkungan kerja bikin teman sejawat lebih bersemangat, cantik di sekolah bikin anak peminggat jadi rajin masuk kelas, cantik di pelaminan bikin tamu undangan ikhlas mendengarkan kata sambutan ahli rumah walau sejam bablas.
Bagi politisi perempuan, terlihat lebih cantik di media sosial, di spanduk, di kartu nama, jelas menjadi keharusan. Bikin penggemar vote dirinya tambah banyak. Ujung-ujungnya, kesampaian niat deh jadi anggota DPR/DPD. Dan itu sah! Sah jumlah suara yang didapatnya dari penggemar "sesuatu yang cantik" tadi. Lagian hukum pemilu untuk mengesahkan jumlah suara, bukan untuk mengesahkan bahwa dia memang cantik atau seperempat cantik, atau untuk menghakimi dia mengelabui publik dengan sihiran kosmetik atau mistik?
Bawaan agar terlihat cantik dari sesungguhnya tak hanya didorong faktor kodrat semata. Faktor lingkungan dan didikan dalam keluarga sedari kecil juga turut berperan. Coba, orang tua mana yang tidak bangga melihat bidadari kecilnya berlenggak-lenggok bak peragawati di atas tiker lusuh atau kasur mewat? Pasti semuanya suka dan kerap memuji aktivitas menggemaskan si kecil dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Tanpa harus bertanya ke lembaga survei, bisa dikatakan hampir semua orang tua selalu menginginkan anak perempuannya terlihat lebih cantik dalam keseharian mereka. Instrumen untuk memuji paling umum biasanya cukup dengan melirik pakaian yang dikenakan. Pantas atau tidak, sinkron atau kagak. Seorang anak yang wajahnya memang cantik tidak akan mendapatkan pujian jika mengenakan pakaian diasosiakan dengan pengemis. Bolong di sana sini. Sebaliknya anak yang kurang cantik pun tetap akan dipuji cantik jika mengenakan pakaian yang serasi, sopan dan pantas.
Soal akreditasi wajah yang sebenarnya, cantik (A), kurang cantik (B), pas-pasan (C), atau alamak (D), memang kurang mendapat tempat sebelum orang tua melontarkan pujian pada anaknya. Bisa menimbulkan pertengkaran antar anak bangsa. Bayangin saja kalau orang tua sudah mempertengkarkan genetika mereka sendiri.
"Tau tidak, cantik itu bawaan bapak, pas-pasan itu bawaan ibu", dan lalu si bapak menyela, "Boong, Nak. Ganteng itu bawaan nenek dari sebelah bapak, jelek itu bawaan datukmu dari sebelah ibu!"
Prang...! Gelas pun singgah di lantai.
Jelas, kesalahan dalam menilai instrumen pujian hanya bikin rumah tangga bersitegang kecil-kecilan. Cuma kalau dipelihara bisa jadi bersitegang benar-benaran. Pertengkaran anak bangsa bisa mendorong memicu munculnya "hak untuk menentukan nasib sendiri", referendum, merdeka! Cerai! Gawat, kan?
Jadi, memuji tanpa instrumen asli sebenarnya adalah cara orang tua untuk mengasihi anak perempuannya, sekaligus untuk menjaga kerukunan dalam berumah tangga. Sah!