Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sistem Zonasi yang Berkeadilan dan Layak Diapresiasi

19 Juni 2019   18:24 Diperbarui: 25 Juni 2019   06:15 1200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menegaskan PPDB tahun 2019 merupakan bentuk penyempurnaan dari sistem zonasi yang sudah dikembangkan. (Dok. Kemendikbud)

Pemerintah telah menggulirkan sistem zonasi secara bertahap sejak tahun 2016, baik zonasi siswa maupun zonasi guru. Zonasi siswa sudah lebih dahulu diterapkan sejak 3 tahun belakangan. Zonasi guru akan menyusul kemudian. 

Kalau tak ada aral melintang, kemungkinan besar untuk zonasi guru akan  diterapkan mulai awal tahun ajaran mendatang. Tujuaannya menurut kemdikbud, agar tercipta pemerataan pendidikan dari berbagai aspek.

Hemat saya, sistem zonasi pada dasarnya bukan hanya untuk pemerataan pendidikan semata, tapi lebih dari itu, sistem zonasi baik guru maupun siswa sebenarnya untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat yang selama ini agak terpinggirkan.

Bolehlah kita menengok sejenak ke belakang. Sebelum adanya sistem zonasi ini, dunia pendidikan kita sangat-sangatlah tidak berpihak bagi sekelompok masyarakat, terutama bagi orang tua yang ingin memenuhi hak dasar  anaknya ke sekolah negeri yang dipandang favorit, bermutu atau berkelas.  

Sistem  kasta seolah-olah "diciptakan" oleh negara melalui berbagai kebijakan yang seolah "menghalalkan" sekolah-sekolah negeri  dari berbagai jenjang "berkejaran" dengan mutu untuk mengubah status sekolah  mereka. Maka munculah status-status sekolah dengan aneka rupa penyebutannya. 

Ada yang berlabel sekolah sebagai  Rintisan Internasional, Sekolah Standar Nasional, Sekolah Unggulan, sekolah inti dan sekolah imbas, serta pelabelan  lainnya yang mungkin saja kedengarannya  agak unik jika kita telusuri lebih lanjut. Misalnya Sekolah alam!

Akibat pelabelan ini, tentunya sistem kasta pun tercipta dengan sendirinya. Dalam pengamatan saya, ada 3 kelompok yang bertarung demi meraih kasta-kasta tersebut.

Infografis: @kemdikbud_RI
Infografis: @kemdikbud_RI
Pertama, kelompok masyarakat berkantong tebal

Orang tua yang berkantong tebal tentu akan menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah favorit. Gedungnya megah, ruang kelas dipantau CCTV. Lantainya mengkilat. Tiap siswa belajar ditemani laptop dan loker, alat peraganya teknologi IT terkini, gurunya  menguasai 2-3 bahasa internasional. Pokoknya serba ada. Kolam renang, ada. Laboratorium IT, ada. 

Anak orang kurang mampu saja yang tidak ada! Hebat. Dari model sekolah ini orang tua pun puas karena anak mereka mendapatkan Standar Pelayanan Maksimal (SPM).

Tidak salah jika orang tua ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah berbau bonafid. Terlebih  mengirim anaknya yang ke sekolah swasta yang memang banyak memenuhi standar seperti itu. 

Tapi jika kemewahan itu justeru diperlihatkan oleh sekolah-sekolah yang langsung dikelola oleh negara, walau kualitas kemewahannya tidak setara dengan sekolah di atas tadi, maka isu kesenjangan dan kecemburuan sosial akan mendorong seorang anak cenderung kurang empati pada anak lain yang nasibnya tidak seberuntung mereka. Pola interaksi sosial mereka hanya terbatas pada entitas dan komunitas tertentu.  

Kedua, kelompok masyarakat berkantong cukup atau tipis

sebaliknya, ortu yang berkantong lumayan tebal, cukup atau tipis,  tentunya akan  mengirim  anak mereka  ke sekolah-sekolah yang grade-nya sedikit lebih rendah dari yang pertama. 

Biarlah tak mendapatkan Standar Pelayanan Maksimal  (SPM), asal mendapatkan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Ngapain pusing mikirin ongkos, biaya makan, nginap dan sebagainya. Yang penting anak sekolah. Masa bodoh dengan pelayanan Maksimal-minimal. Apa bedanya bagi mereka.  Toh sama-sama SPM juga, kan? Nah loh!

Ketiga, kelompok masyarakat berkantong bocor

Yang lebih miris tentu anak yang ortunya berkantong bocor alias hidupnya serba pas-pasan. Untuk makan hari ini pas-pasan, bayar kontrak rumah pas-pasan, bayar hutang warung juga pas-pasan. Dan pas ditagih iuran komite  ini itu oleh pihak sekolah, eh pas juga uangnya tidak ada. Mau tidak mau piliahnnya tinggal dua saja, mencari pinjaman atau memberi "kartu merah"  pada anak agar berhenti sekolah!

Hal yang menyakitkan memang.  Dan bukan sesuatu hal yang bisa  didramatisir seenaknya. Di berbagai media sudah sering diulas atau diberitakan tentang anak-anak yang putus sekolah karena kalah dalam persaingan. Mereka kalah bukan karena mereka tidak punya "otak", tapi mereka kalah karena isi kantong orang tua mereka tidak seberuntung yang lain. Bocor!

Untuk memutus rantai ketidakadilan itu bukan perkara gampang. Sistem pendidikan kita yang menilai seorang anak hanya berdasarkan "otak dan dompet" sudah mengakar puluhan tahun. Zona nyaman masing-masing pihak seperti sudah ditentukan dan dilegalkan oleh perangkat aturan. Guru berebutan untuk mengajar di sekolah favorit. 

Menjadi kepala sekolah pun lumayan juga "maharnya"  untuk oknum-oknum terkait. Bukan rahasia lagi. Bukan rahasia juga kalau semua orang tua melakukan segala cara agar anaknya masuk ke sekolah favorit!

Karenanya, usaha pemerintah yang memberlakukan sistem zonasi, baik guru mau pun siswa di semua sekolah negeri, sudah sepatutnya didukung oleh semua pihak. Kita berharap semua anak Indonesia mendapatkan pelayanan yang sama disegala bidang. Tidak ada perbedaan satu sama lain. Tidak ada beda perlakuan untuk mereka. Percayalah...

Mendapatkan pengajaran terbaik adalah hak anak bangsa 
memberi kesempatan yang sama adalah kewajiban negara 
perkara dompet adalah takdir semata!

Salam "Keadilan bersekolah  bagi seluruh anak  Indonesia".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun