Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memilih Pemimpin Bukan Karena Paras dan Ras

7 Oktober 2016   02:44 Diperbarui: 7 Oktober 2016   14:46 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agus lebih ganteng dibanding Ahok. Cuma kalo dibandingin Anies atau Sandi, maka Agus tak bisa dikatakan lebih ganteng dari mereka. Mungkin proporsi kegantengan mereka seimbang. Namun ditilik dari pasangan hidup, Ahok beruntung karena kesehariannya didampingi oleh istri yang  cantik. Lho, apa hubungannya?

Ufh, saya terkadang kasihan dengan orang-orang yang menganggap paras adalah sumber keberuntungan. Bukan karena paras saya pas-pasan. Tapi lebih karena tak ada korelasi langsung antara keberhasilan seseorang dengan paras atau pasangan hidup mereka. Apalagi kalo menyangkut keberhasilan seorang pejabat dalam meniti karir. 

Cara pikir keblinger yang menganggap paras adalah penentu takdir. Omong kosong. Banyak contohnya orang yang punya paras pas-pasan tapi lebih sukses dibanding paras menawan. Sederhana saja. Coba anda bandingkan paras Jokowi dengan Prabowo. Hayo, tarik kesimpulan sendiri bagaimana ujungnya. Siapa yang lebih sukses meniti karir? Atau bandingkan paras ibu Iriana dengan Anisa Pohan plus Veronika Tan, Istri Ahok. Hayo, siapa yang lebih oke dan siapa yang lebih cemerlang?

Memang benar keberhasilan seorang pemimpin pus minusnya dipengaruhi faktor istri juga. Tapi faktor di sini lebih diukur dari tingkat kesabaran, ketelatenan dan kesetiaan atau kerakusan serta kejumawaan sang istri dalam mendampingi suami. Acuannya adalah perilaku dan karakter, bukan paras bro. Justeru kalo kita berkutat pada isu paras, banyak sekali contoh pejabat yang jatuh karena tergoda paras cantik. Syair dangdut bilang,”Yang tampan/cantik itu banyak maunya”. Faktanya, banyak dari pejabat tadi yang akhirnya korupsi demi memenuhi kebutuhan farfum dan asesoris sang istri (muda)  yang harganya setara gaji pegawai eselon satu untuk satu tahun. Silahkan googling kalo nggak percaya.

Jadi mengkaitkan tingkat keberhasilan seseorang dengan paras mereka atau dengan paras pendamping hidupnya, menggunakan tiori atau pendekatan apapun, bagi saya hanyalah salah satu bentuk pelecehan kodrati  semata. Penyebabnya mungkin gagal mengagumi diri sendiri atau pendamping hidupnya. 

Ketidakberdayaan yang menggelikan. Ngapain juga sih sudah punya suami atau istri tapi masih tergoda dengan ketampanan dan kecantikan punya orang lain? Sekedar kagum? Kekaguman personal  nggak usah dipamerkan, cukup dihayati di kamar mandi, eh maksud saya hayati saja dalam hati. Kalo disebarluaskan demi politisi, aduh, kasihan sekali dan nggak pede amat hidup elo. Kalo elo ngakunya pede, mestinya elo mesti bilang,”Setampan atau secantik apapun suami atau istri orang lain, masih lebih tampan dan cantik pasangan hidup ane”. Nah, kok elo sulit sekali mengakui itu,  bro? Ente sakit atau capek  sepulang kerja? Pilih aja, ke dokter atau tukang urut. Jangan ke Dimas Kanjeng!

Efek kejut  lainnya kalo kita berkutat pada paras sebelum memilih seorang pemimpin, tentu dampak SARA-nya. Disadari atau tidak, unsur SARA gampang terpicu dengan pandangan seperti ini. Apa kaitannya? Tentu ada karena yang namanya SARA itu menurut pengakuan ahli nujum manapun, tak lain akronim dari Suku, Agama, Ras dan antar golongan. 

Paras itu berkaitan erat dengan ras atau genentika seseorang. Andai Ahok yang berkulit putih duel di Pilgub dengan Mike Tyson, lalu anda sebar pandangan lebih memilih Ahok karena faktor kesamaan kulit maka anda sudah mempersoalkan genetika atau Ras mereka secara tidak langsung. Bagaimana kalo bukan kulit, tapi ketampanan dan kecantikan yang dipergunjingkan? Tetap sama saja, kecuali ente belum tahu kalo penduduk asli Eropa lebih putih, cantik dan lebih tampan dibanding  penduduk asli Afrika!

Belum nempel juga di kepala ente?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun