Kepada Admin Kompasiana.
Terima kasih telah menyediakan ruang berbagi untukku. Melalui ruang ini, aku merasa berada di sebuah laboratorium menulis, tempat di mana kami meramu isi hati dan menuangkan sebuah gagasan tanpa batas. Ketiadaan batas ini juga yang dulunya membuat kalian sering menjadi sasaran cemooh dari pihak lain, yang merasa apa yang kalian sajikan sangat berbahaya bagi kesehatan otak pembaca. Tetapi kalian tetap menanggapi semua itu dengan tenang dan terus membenahi ruang berbagi ini dengan kesabaran.
Kalian suguhkan semua duka dan cita melalui laboratorium ini. Tinggal diriku yang memilih ekprimen seperti apa yang aku inginkan. Aku tak pernah menyalahkan kalian jika hasilnya tak pernah mengembirakan hati. Sebaliknya aku tetap akan bersyukur karena masih tetap diberi kesempatan berbagi di sini. Terimakasih telah memberiku ruang berbagi untuk semua.
Kepada rekan mayaku Iskandar Zulkarnaen (Isjet). Tak luput terima kasih kuhaturkan padamu. Aku tak akan melupakan secuil kebaikan yang bermanfaat besar bagi diriku. Saat aku bingung karena tak kunjung terverifkasi dulu, padahal segala cara telah ditempuh, kau menuntunku dengan sabar. Email pertanyaaan kau jawab dengan santun. Ketika proses itu kembali tersendat karena ketidakfahamanku, email yang kukirim kau balas dengan mendahulukan kata “maaf”, karena dirimu belum sempat mengecek isinya akibat kesibukanmu berbagi secuil kebaikan yang lain. Namun secuil kebaikan yang kuterima sangat besar manfaatnya. Semangat menulis kian tinggi setelah terferivikasi.
Dari kata “secuil” juga sekilas aku dapat menilai sosokmu. Kau bukanlah orang yang suka berkutat dengan perbedaan. Kau sambut semuanya dengan hati tulus dan tangan terbuka. Tanpa perlu menelusuri siapa mereka dan apa kastanya.
Kepada Pepih Nugraha, tak lupa kuhaturkan hormat. Di tengah cobaan dan tantangan yang ada, anda tetap meninggikan kata sabar dalam menghadapi sebuah celaan. Aku tak tahu kapan ia merasa gembira dan kapan dihentak oleh gundah. Karena memang aku tak pernah kopdar dengannya. Tapi aku percaya seorang jurnalis tangguh selalu ada jalan keluar dalam menyelesaikan masalah. Tidak sedikit jurnalis keluar dari medan perang dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi mereka tanpa berdarah-darah. Dan aku percaya, sosok yang kusebut ini salah satunya.
Dan kepadamu Pakde Kartono. Terlepas siapa dirimu dan apa profesimu yang sebenarnya, aku tetap menaruh hormat padamu. Kita memang pernah bersilang kata dan bersitegang dalam suatu masalah. Silaturahim antar kita sempat mengendur. Tetapi ada niat baik dari kita untuk saling menjaga. Terbukti sudah. Kita tetap saling sapa dalam momen-momen tertentu. Tak pernah terlintas di hati kita untuk memutus sebuah tautan yang menghubungkan nama kita masing-masing. Sekuat itu kau menjaganya, serapat mungkin aku merawatnya. Semoga kau tetap tangguh ketika badai yang tak diinginkan mendekatimu dalam pusaran sang waktu.
Kepadamu Desol. Aku bangga dengan semangatmu untuk mewarnai Kompasiana ini dengan beragam ajang bermanfaat. Membaca kisah yang disuguhkan oleh rekan-rekan kita selama ini, aku menemukan berbagai warna kehidupan yang memberi pencerahan. Fiksi memang sebatas cerita belaka. Tetapi kata yang bertuah mampu menghidupkan semua itu di alam nyata.
Kepada Opa Tjiptadinata Effendi. Hal yang paling menyenangkan bagiku adalah dapat memetik sebuah hikmah pada setiap artikelmu. Ada kebanggaan tak terhingga ketika dalam sebuah artikelmu, opa pernah menolak tawaran berpindah kewarganegaan karena teramat cinta pada negeri ini. Sungguh memberi inpsirasi bagi setiap anak bangsa yang merasa “Hidup dan Kehidupan” di dunia luar sangat ideal di mata mereka. Mereka lupa kalau air yang di minum dan padi yang di makan selama ini justeru berasal dari bumi ibu pertiwi. Dan Opa seakan ingin merumuskan idiom baru bagi para diaspora kita, “Sekali Garuda tetaplah Garuda. Dia tidak akan pernah menjadi Kanguru”. Terimakasih Opa atas pembelajarannya.
Dan kepadamu Muhammad Armand. Jangan bersedih jika namamu kusebut paling akhir. Berbahagialah karena menurut keyakinan kita, Muhammad memang rasul terakhir yang diutus ke muka bumi ini. Semoga dirimu bukan menjadi “Muhammad Armand” terakhir di Kompasiana ini. Aku berharap Muhammad-Muhammad lain mengikuti jejakmu yang terus berkiprah dengan penuh santun, dan... konyol! Kau mampu menempatkan dirimu dengan adil dalam mengurai persoalan