Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Atribut Seragam Sekolah yang Bikin "Ribet"

16 September 2015   12:29 Diperbarui: 16 September 2015   16:26 9207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makin lama dunia pendidikan kita makin kreatif. Terutama soal aturan pakaian seragam sekolah. Kalau dulu di SD kita cukup mengenakan pakaian merah putih plus topi yang berlogo Tut Wuri Handayani, lama kelamaan atributnya bertambah rame. Terlebih setelah keluarnya Permendikbud no 45 tahun 2014. Pakaian seragam anak sekolah dijejali oleh berbagai atribut lengkap dengan filosofi masing-masing.

Kabarnya kelengkapan atribut ini dalam rangka menunjukkan jati diri bangsa juga dimaksudkan untuk meningkatkan citra satuan pendidikan masing-masing. Saya bingung korelasinya di mana antara jati diri bangsa dengan citra satuan pendidikan. Yang saya tahu, dampak pemberlakuan aturan ini bikin sekolah ribet menjawab pertanyaan wali murid. Yang paling ribet tentu orang tua. Sudah bingung harus masang di mana karena masih ada sekolah yang telat melakukan sosialisasi, biaya operasional murid yang dibebankan pada mereka juga makin bertambah.

Banyak kasus, di mana orang tua selalu ingin mempersembahkan yang terbaik untuk anaknya dengan cara berlebihan. Melihat temannya memasang badge merah putih yang tepinya dibordir, anaknya menuntut yang sama biar terlihat keren. Menurut aturan badge itu dipasang di atas kantong sebelah kiri siswa, orang tua saking kreatifnya memasang badge merah putih di sebelah kanan, di atas nama anaknya. Akibat keliru, terpaksa badge dibongkar ulang dan berarti orang tua terpaksa mengeluarkan biaya tambahan yang tidak perlu.

Tidak perlu? Ya, saya pandang pemasangan badge merah putih di atas kantong tak ada gunanya sama sekali. Terutama untuk anak SD. Buat apalagi ada badge merah putih. Wong pakaiannya sudah merah putih kok. Agar anak sadar bahwa bendera kebangsaan mereka itu merah putih? Okelah kalau begitu. Trus, kalau badge tadi dicoret-coret si anak, koyak, kusam dan sebagainya, apakah kebanggaan itu masih tersisa? Sama sekali sekali tidak. Kita selaku guru tentu kecewa ketika badge merah putih tadi hanya dianggap asesoris semata.

Saya sendiri terkadang tersenyum geli melihat aturan negara dan  kebijakan sekolah dalam penggunaan atribut seragam. Ada sekolah yang seragam anaknya rame bukan main. Di atas kantong ada badge merah putih. Di sebelah kanan ada nama peserta didik yang dibordir. Mengenakan dasi model kupu. Di lengan sebelah kanan ada atribut nama sekolah. Berhubung di lengan sebelah kiri masih kosong, sekolah lalu bikin kreatifitas. Seluruh siswa dianjurkan pasang atribut tambahan yang menunjukkan jenjang kelas peserta didik. Misalnya kelas I, II sampai kelas XII. Benar-benar mengerikan dan mengundang kriminalitas saja. Lho...?

Saya ingat betul kejadian beberapa bulan yang lalu. Ketika pulang sekolah. Seorang siswi saya yang berartiribut lengkap sesuai aturan, menunggu digerbang karena jemputan belum datang. Seseorang kemudian mengampiri dan menyapanya. Mereka sejenak mengobrol. Perasaan saya menjadi kurang enak. Sebelum siswi tersebut naik motor, saya lalu menghampiri dan bertanya pada siswi saya apakah mengenal orang tersebut. Dia menggelengkan kepala dan mengatakan itu teman ayahnya. Belum sempat saya menginterogasi orang tersebut, dia langsung berlalu sambil mengucapkan salam agak terpaksa. Sampai hari ini saya tak pernah bertemu lagi dengan orang tersebut.

Kejadian ini membuat saya dan guru lainnya mesti waspada. Ternyata banyak orang yang beritikad jahat pada anak-anak dan mengaku kenal hanya karena tahu nama si anak setelah melihat badgenya. Pada kejadian siswi yang saya maksud, kebetulan saja panggilan kecilnya sudah pasaran sehingga hampir saja dia menjadi korban penculikan dan sebagainya akibat faktor keluguan.

Dari sinilah saya berani menyimpulkan, penggunaan atribut sekolah yang berlebihan pada anak, selain manfaatnya tak jelas dan menambah beban orang tua, juga dapat membuka peluang bagi siapa saja yang ingin melakukan kejahatan pada anak-anak. Untuk pemasangan badge merah putih okelah bisa diperdebatkan, namun anak wajib memasang nama mereka di seragam kanan bagi saya nilai manfaatnya tak ada sama sekali, kecuali bagi "predator anak". Cukup dengan menebak panggilan si anak dan bermodal sedikit pinter ngomong, peluang seorang anak menjadi korban kejahatan mereka semakin membesar.

Atribut sekolah yang rame akhirnya bikin ribet orang tua, guru dan aparat kepolisian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun