Menarik apa yang disampaikan oleh manajer penanganan bencana Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Mukri Friatna, Mengomentari banjir “Mengepung Jakarta” ala TV milik salah saeorang capres atau “Banjir Makin Meluas” ala capres berkantong tebal lainnya. Mukri dengan berani memberi nilai 6 atas usaha maksimal yang dilakukan Gubernur DKI Jakrta dengan Pasangan duetnya, Jokowi-Ahok. Sementara pemerintah pusat dalam penilaian Walhi belum melakukan apa-apa sehingga layak diberi angka “NOL” (tanpa tanda kutip)
Tak hanya Walhi yang mengapresiasi kinerja Jokowi-Ahok, Pengamat tata kota dari Universitas Indonesia, Firdaus Ali, dan M. Jehansyah Siregar, pengamat tata kota dari Institut Teknologi Bandung juga memberikan pujian yang sama. Mereka memberi cap jempol atas keberhasilan pemkot DKI dalam merelokasi penduduk dari bantaran sungai dan waduk serta melakukan normalisasi terhadap sungai-sungai kecil. Angka merah sepakat memreka berikan pada pemerintah Pusat yang dianggap gagal atau belum maksimal melakukan normalisasi sungai-sungai besar dan membuat waduk yang menjadi tanggungjawabnya.
Pendapat Walhi dan para pakar tadi tentu berbeda dengan tanggapan Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum Mohamad Hasan. Walau memuji langkah-langkah pemerintah DKI sejauh ini cukup baik dalam mengatasi banjir tahunan, Hasan meminta pemerintah DKI menunaikan kewajibannya untuk mengendalikan masyarakat menyangkut pembebasan lahan sebelum melakukan normalisasi terhadap kali Krukut yang belum juga tertangani sampai kini.
Beda sikap tentu beda kepentingan. Walau mengaku tujuannya sama-sama ingin mengatasi banjir sesuai wewenang masing-masing. Artinya sah-sah saja Kemen PU mengelak faktor pembebasan lahan sebagai penghambat normalisasi Kali Krukut. Cuma seandainya nanti Jokowi bertindak keras terhadap para pemukim yang enggan di relokasi dan menantang aparat dengan menghunus golok seperti yang dikatakan Ahok, apa nanti Jokowi tidak dianggap melanggar HAM lagi oleh Komnas HAM setelah menggusur mereka sesuai aturan yang berlaku?
Terlepas dari itu, sudah saatnya kemen PU mengubah paradigma berpikir yang kerap telat mengatasi kekurangan di depan mata. Tak usah lagi berkelit atas nama kewajiban. Nyatanya jalan nasional yang rusak saat ingin dibenahi Jokowi tetap saja ditolak dengan alasan mengambil wewenang pusat. Alasan apa lagi yang dipakai menyangkut perbaikan jalan nasional yang banyak rusak hampir di semua daerah ini pak PU? Karena Jokowi, Bupati atau walikota se-Indonesia belum juga memungut paku-paku yang ditebar para penambal ban di jalan? Itu mah urusan negara. Kenapa juga hidup mereka tak sejahtera padahal kabarnya kita sudah merdeka puluhan tahun!
Untuk Kemen PU saya kasih skor -6.
Bacaan Santai :
Banjir Jakarta, Jokowi Lumayan Pusat Nol
E-Budgeting, Sistim Saling Mengawasi Anggaran Ala Jokowi-Ahok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H