Kasus 1.
Seorang menteri naik angkot. Diperjalanan angkot kena razia. Sopir tak punya SIM. Kondisi mobil tak laik jalan. Menteri keluar. Petugas kaget. Apakah angkot tadi diperbolehkan jalan? Apakah menteri akan pindah ke angkot lain? Jika angkot diperbolehkann jalan, jelas melanggar aturan dan memberi contoh yang tidak baik dihadapan jurnalis yang suka menguntit perjalanan sang menteri. Jika menteri pindah angkot, menterinya jangan-jangan politikus loncat pagar yang suka pindah paartai. Jika alasannya takut terlambat menenmui dubes, kenapa juga naik angkot? Bingung kan?
Kasus 2.
Seorang Gubernur naik bis kota. Penumpang heboh. Semua berebutan fhoto dan tanda tangan. Suasana macet makin mogok. Gubernur pindah bis lain. Hasilnya sama saja, malah saking ramenya penggemar, dompet gubernur hilang tak ketahuan. Sampai dikantor jam 10. Tamunya sang dubes sudah menunggu dari jam 8 pagi. Bagaimana kesan dubes pada gubernur?
1. Gubernur tidak disiplin.
2. Gubernur sok merakyat sehingga lupa tugas utama
3. Gubernur bau dan aneh. Rambut berantakan oleh banjir keringat.
Oke, pandangan nomer 3 hilang karena gubernur buru-buru merapihkan diri. Namun dia tetap terlambat menemui sang dubes. Jadi apa gunanya angkot dan bis kota bagi pejabat penting negara atau setingkat propinsi kalau hasilnya dipandang tidak disiplin dan mengurangi produktivitas kerja?
Dengan gambaran di atas, saya ingin mengatakan. Himbauan Jokowi agar semua PNS dan pemkot DKI naik kendaraan umum atau angkot sesungguhnya baik, namun harus dilengkapi dengan kekecualian. Untuk pejabat teras seperti Gubernur, Wagub, dan dianggap penting lainnya himbauan itu sebaiknya jangan diberlakukan. Bukankah pejabat-pejabat teras yang dimaksud ingin melaksanakan tugas tepat waktu demi meningkatkan dan mengawasi pelayanan publik yang prima? Mustahil tercapai kalau pejabatnya sendiri telat masuk kantor dan terjebak macet digenangan air.
Selain itu, pejabat teras setingkatmenteri, gubernur dan lain-lain tadi dengan perilaku baik tapi semberono tadi akan membahayakan diri mereka sendiri. Bayangkan ketika mereka gelantungan di biskota tiba-tiba bom di mobil meledak. Mereka menjadi sasaran yang tepat bagi kelompok teroris atau pihak-pihak tertentu untuk mengacaukan keadaan.
Jadi bukan saya tak setuju melihat pejabat berdekatan dengan rakyat, Cuma mengkhawatirkan keselamatan dan kenyamanan mereka saja. kasihan kan ajudannya harus desak-desakan terus dengan warga yang terlalu mendekat demi menghindari kejadian yang buruk.
Saya sarankan jika menteri dan gubernur naik angkot atau bis kota, jangan lupa menyimpan dompet di sepatu. jangan lupa juga menyiapkan uang recehan senilai 5 ribu. Copet dan pengamen masih eksis hingga hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H