Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Guru, Bebek....

4 Mei 2014   00:07 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:54 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dia berdiri tegap. Menghormat pada layang-layang yang tersangkut di pohon Jambu. Kebetulan warnanya merah-putih, mirip dengan bendera yang sering dia saksikan saat upacara hari senin. Padahal  sekarang hari jum’at. Namun bila dia sudah mengheningkan cipta dengan komat-kamit, dapat dipastikan hari ini memang hari senin baginya.

Habis mengikuti upacaranya sendiri, kuperhatikan dia suka berkeliling kampung dengan sepeda onthel-nya. Bukan hanya sekali, dia lakukan itu sampai dirinya merasa capek dan kemudian  beristirahat di bawah pohon mana saja yang dia suka. Sehelai daun juga bisa sebuah pohon baginya. Lalu sambil beristirahat dia mulai mengigau dan  bicara sendiri. Semua yang dia bicarakan tak jauh-jauh dari soal belajar-mengajar dan uang. Maklumlah, dia mantan guru, mantan kepala sekolah, dan tentu bertambah lagi sekarang mantannya : mantan orang waras!

Dan pagi itu....

“Kriiing...!”

“Awaaas, Pak...”

Wushh....

Aku kaget dan meloncat ke samping.  Hampir saja tubuh Jokowi-ku diterjang oleh sepedanya yang melaju kencang di jalan menurun.  Untunglah murid yang jalan bersamaku tadi memberitahu, kalau tidak, tentulah pagi ini aku menikmati standar pelayanan minimal puskesmas terdekat yang jaraknya kurang lebih 20 km dari desa di pedalaman ini.

Sesampainya di sekolah, beberapa orang guru yang sudah hadir duluan, maklum mereka sudah punya kendaraan roda dua,  memberitahu kalau lelaki tua yang ingin menabrakku tadi masuk ke lembak (jurang kecil menurut istilah kami). Tentu bersama dengan dengan  sepedanya.

“Dia tidak apa-apa?” kutanya  keadannya pada Bu Indri, bendahara sekolah yang agak mirip Marshanda, namun suaminya malah seperti Sule.

“Sepedanya rusak berat, kepalanya terluka. Namun dia marah kalau ada yang ingin menolong.”

“Trus dia masih di sana?”

“Sudah pulang. Luar biasa memang, sepeda saja dipanggulnya...”

“Orang gila memang tak pernah mengenal rasa sakit. Makanya jarang kita temukan orang gila masuk puskesmas,”kata Pak Idrus kalem.

Pak Hadi, kepala sekolah kami yang sudah menjabat sejak setahun yang lalu memelototi pak Idrus

“Maaf, pak,”ucap Pak Idrus  malu-malu.

Memang tak pantas, sebab walau bagaimanapun Orang gila yang dimaksud adalah mantan guru juga. Bahkan dia pernah mengajar dan menjadi kepala sekolah di sekolah ini sebelum digantikan pak Hadi.

Dari cerita yang kudengar kemudian, pergantian tersebut terpaksa dilakukan mengingat pak Burhan, nama pengendara onthel tadi, kerap  bertindak diluar batas. Dia pernah menempeleng seorang siswa hingga pendengarannya terganggu. Dia juga pernah memukul guru yang menjawab omongannya saat marah. Selain itu kabarnya dia suka melakukan pungli terhadap semua penghasilan guru, baik guru PNS yang hanya 5 orang, maupun guru honorer yang berjumlah 8  orang. Jumlah guru honorer memang lebih banyak karena kebanyakan guru PNS enggan mengabdi di sekolah terpencil ini. Selain beralasan fasilitas yang kurang memadai, letaknya yang jauh dari keramaian dan jumlah siswa per kelas yang hanya dihuni beberapa orang membuat mereka malas mengajar. Mungkin  kurang menantang yang dijadikan alasan. Atau minim penghasilan tambahan?

Konon menurut cerita Bu Indri, Pak Burhan selain temperamen, juga dikenal suka mengembat penghasilan guru. Semua tunjangan yang didapat guru sering disunatnya, termasuk dana BOS, yang peruntukannya ada untuk anak miskin.

“Dulunya sekolah ini banyak peminat. Jumlah murid ada ratusan. Lumayan bila dibanding dengan sekolah lain di desa tetangga. Namun sejak pak Burhan menjabat, semuanya berubah. Semua keuangan termasuk dana hibah dari pemerintah dia yang kendalikan, bendahara hanya tanda tangan,”cerita Bu Indri di sela jam istirahat saat kami mengawasi anak-anak SD kerjabakti memperbaiki pagar bambu yang mengelilingi sekolah.

“Tak ada guru yang melawan atau melapor ke dinas?”

“Mana ada yang berani. Selain atasan, dia juga asli warga sini. Anaknya ada yang jadi polisi, malah waktu itu menantunya yang jadi kades. Melapor kemana?”

Aku manggut-manggut.

“Tapi ada juga yang berani bersuara, namanya Pak Adi...”

Bu Indri lalu cerita sosok Pak Adi yang mereka kagumi. Pak Adi pernah ditugaskan di            sini. Dia guru yang muda dan cerdas. Teguh pendirian. Memiliki prinsip. Selain itu orangnya jujur dan baik hati. Semua guru menaruh hormat dengan perilakunya yang sopan dan tutur katanya yang lembut.

Bu Indri ingat pertama kali mendengar Pak Adi mengajar di kelas dua tahun lalu. Saat itu dia mengetes kemampuan siswa kelas 6 dengan suara lantang.

“Biyan, Coba sebutkan ibukota negara Inggris...”

“Nggak tahu, Pak, kalo Manggis saya tahu....”

“Artinya Biyan  nggak belajar semalam...”

“Bukan, Pak. Saya belum pernah ke sana saja....”

Semua tertawa. Dan Bu Indri yang mengaku saat itu buang air kecil juga ikut tersenyum simpul.

“Kalau begitu, buka buku kalian, kita cari bersama-sama...”

Semua hening. Akhirnya tahulah Pak Adi tak satupun siswa dikelasnya yang memiliki buku pelajaran. Angankan buku, sebagian besar malah siswa tak pakai sepatu. Belum  lagi seragam putih  mereka setelah diamati Pak Adi sangat jauh dari kesan layak. Bentuknya sudah mirip pakaian batik minus motif pabrik. Mungkin selain dibawa sekolah, pakaian itu dibawa juga untuk kerja di ladang, mencari ikan di sungai,  atau malah tidurpun tidak diganti.

Ketika hal itu disampaikan oleh Pak Adi pada kepala sekolah, Pak Burhan,  terbitlah amarah yang bersangkutan.

“Kau baru beberapa hari  di sini, sudah berani mengatur-atur soal keuangan. Apa hakmu intervensi keungan sekolah? Bendahara juga bukan.”

“Bukan begitu, Pak. Maksud saya, sesuai juknis, alangkah baiknya kalo kita membantu mereka dengan menyediakan buku gratis...”

“Trus?”

“Atau membelikan mereka pakaian yang layak agar gairah belajar mereka meningkat. Lagi pula sekolah kita dapat BKM dan Bansos untuk tahun ini. Untuk bansos sudah masuk rekening, Pak.”

“Dari mana kau tahu?”

“Kebetulan saydara saya dinas di Propinsi, Pak. BKM semua murid juga sudah disalurkan.”

Bu Indri mendengar betul apa yg disampaikan Pak Adi. Namun Pak Burhan semakin berang.

“Namun Pak Adi terus gigih memperjuangkan hak anak-anak, sementara Pak Burhan sejak saat itu terus mengintimidaasinya...”cerita Bu Indri.

“Trus?”

“Saat inspektorat turun, diketahui Pak Burhan banyak melakukan penyimpangan selama menjabat. Itu menjadi alasan bagi dinas untuk mencopot orang kuat tersebut...”

“Lalu bagimana dengan Pak Adi?”

“Dia juga dimutasikan karena dianggap tidak loyal dengan atasan. Apalagi dia terang-terangan menceritakan penyimpangan sekolah diblognya. Banyak yang marah dan kebakaran jenggot.”

“Oya? Lalu kenapa pak Burhan jadi begitu?”

“Habis dicopot dan menggant kerugian negara, istrinya gagal berangkat haji, sementara hartanya habis dijual si menantu yang berambisi jadi caleg. Dia tak punya apa-apa lagi. Mungkin hukuman setimpal karena suka mengambil hak orang miskin.”

Aku tertegun. Bisa jadi Tuhan memberinya balasan karena suka memeprmainkan hak anak-anak miskin. Namun jujur, baru kali ini aku mendengar mertua dibikin stres oleh menantunya yang gagal nyaleg. Namun aku tak ingin bertanya lebih lanjut, melihat Bu Indri mulai kerepotan dengan pertanyaan kristisku menyangkut keungan sekolah.

Setelah mendengar kisah dari Bu Indri itu, memang aku cenderung berpihak pada Pak Adi. Terlintas dihatiku untuk meneruskan perjuangan yang tertunda tersebut. Aku yakin, hanya inilah salah satunya cara untuk melawan ketidakadilan yang selama ini sering didapatkan kaum papa. Jika pak Adi yang PNS saja berani bersuara lantang dan tak takut dipecat, kenapa aku yang hanya berstatus guru hohor takut mengalami hal yang sama?

Namun perjuangan yang luhur selalu ada rintangannya. Baru sehari mempertanyakan alokasi bantuan siswa miskin yang pendanaannya dianggarkan lewat BOS, tanpa alasan jelas, dua hari kemudian  aku menerima surat pemecatan dari kepala sekolah dengan alasan jumlah jam diambil oleh guru-guru yang ingin sertifikasi. Aku hanya mengelus dada, terlebih setelah melihat Bu Indri tersenyum penuh kemenangan saat aku berpamitan di ruang guru.

Perpisahan yang berat dengan anak didikku. Mereka melepasku di kelas dengan tangisan. Aku terjebak dalam haru. Namun hati ini sedikit terhibur melihat Pak Burhan, mantan kepala sekolah yang stress itu, terlihat  kejar-kejaran dengan bebek di halaman sekolah. Sementara bebek-bebek yang lain seperti Bu Indri, Pak Idrus,  dan kepala sekolah yang bersekongkol mencampakkanku berdiri rapi di depan kantor sambil mengarahkan pandangan padaku. Kemudian mereka tertawa melihat Pak Burhan mengajari bebek-bebek di tepi empang dengan tongkatnya.

Hari ini semua bebek berjejer dengan rapi. Entah apa yang ada di kepala mereka.

Pagaralam, 3 Mei 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun