Contoh tulisan Kuno di Bima, NTB (http://wisata-bima.blogspot.com/)
Sejarah penulisan manusiapun berubah sesuai dengan perkembangan kapasitas dan kemampuan inovatif mereka. Di mulai  dari bahasa isyarat untuk mengekspresikan sesuatu, sampai manusia mencetuskan keinginan mereka dengan simbol dan mengeskpresikan simbol tersebut dengan ucapan atau aksara  di masa berikutnya.
Tempat menuliskan ekspresi juga berubah. Dari batu dan kulit hewan,  berubah ke media yang dianggap lebih mudah dan praktis. Bangsa Mesir dulu menggunakan sejenis tanaman air yang dikenali dengan nama Papirus sebagai media  bagi mereka untuk  melukiskan sesuatu. Metode penulisan kuno  ala Mesir menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Eropa yang masih menggunakan kulit domba sebagai tempat menuangkan tulisan. Seiring dengan perkembangan akal manusia, kertas lalu dianggap sebagai media yang paling pas untuk menggantikan kedudukan batu, papirus atau kulit hewan.
Dari sini  sejarah kemudian mencatat, adalah bangsa China yang pertama kali menggunakan kertas sebagai media mereka untuk menuliskan sesuatu.  Cara membuat kertas bangsa China lalu diadopsi oleh bangsa Arab. Dari Arab kertas menyebar ke wilayah lain seperti Italia dan Indian. Industri pembuatan kertas perlahan tumbuh subur di Eropa pada abad ke-12. Semakin menemukan bentuknya setelah Benua Amerika pada abad ke-16 mulai mengenal kertas.
Dari sinilah penggunaan kertas menyebar ke seluruh dunia, termasuk di era modern di mana bangsa Amerika termasuk negara yang cukup besar produksi pembuatan kertasnya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan negara konsumen. Namun pada tahun 2009, predikat Amerika Serikat sebagai produsen utama kertas dunia digeser oleh China yang tumbuh sebagai raksasa ekonomi dunia baru. Produksi kertas makin menjadi-jadi untuk memenuhi segala kebutuhan manusia.
Namun dibalik penggunaannya yang positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan ini, dunia dicemaskan oleh dampak dari pembuatannya. Negara-negara berkembang penghasil kayu seperti Indonesia seringkali menjadi korban  ekpansi dari negara-negara besar. Pemerhati lingkungan hidup seperti WWF turut menyuarakan ini. Sebagai contoh, WWF Indonesia terus mengecam perusahaan-perusahaan  besar yang melakukan penebangan hutan alami sehingga merusak keseimbangan ekosistem. Padahal sejak tahun 2003 beberapa perusahaan bbesar tersebut telah menandatnagni perjanjian dengan WWF untuk melindungi hutan-hutan dengan konservasi tinggi.
Alhasil ketika perkembangan teknologi memberi berbagai terobosan untuk mengurangi ketergantungan akan kertas, aktifis peduli lingkungan menyambut baik. Salah satunya dengan ikut memasyarakatkan software yang diberi nama Save As WWF. Dengan menggunakan sofware ini kita bisa mengubah format tulisan dari Word/PDF Â ke WWF sehingga tak bisa dicetak/print. Upaya ini tentu diharapkan dapat menekan penggunaan kertas oleh para konsumen. Kampanye ini memang tak begitu ampuh. Masih banyak orang yang tidak tahu atau kuramng tertarik mengubah format tulisan mereka ke WWF sehingga ketika tulisan tersebut berpindah pada pihak lain maka dengan mudah materi tulisan tersebut dicetak. Pencetakan yang terus berkelanjutan tentu memberi peluang bagi produsen kertas untuk menyiapkan media. Artinya penebangan pohon akan tetap dilakukan sehingga usaha yang dilakukan oleh kelompok pemerhati lingkungan menjadi sia-sia.
Namun perjuangan yang tak kenal lelah tersebut kini mendapat dukungan "tak sengaja" dari perkembangan ilmu pengetahuan. Ilmuwan mengarahkan manusia untuk menikmati hidup di era digital. Mereka berharap kelak peran kertas tergantikan oleh teknologi digital yang dapat dinikmati dan diakses dengan mudah oleh siapa saja. Pembuatan E-book atau penggunaan media digital seperti Buku Sekolah Elektronik yang digagas oleh Kementerian Pendidikan sebelumnya adalah salah satu cara untuk menanggulangi ketergantungan akan kertas. Hambatannya tentu saja karena tidak semua tenaga pendidik di negeri ini yang memiliki laptop atau tablet sehingga ketika akan memberikan materi maka mau tak mau buku BSE ini harus didownload untuk dicetak! Langkah guru tersebut tentu akan diikuti oleh peserta didik dengan memperbanyak buku paket tersebut melalui fhotocopy.
Solusinya, selain meningkatkan kecepatan akses internet, Â pemerhati lingkungan nampaknya mesti mendorong pemerintah untuk menyiapkan laptop atau tablet murah bagi dunia pendidikan sehingga ketika belajar dan mengajar kita tak mengenal lagi istilah buku paket. Namun hal tersebut sulit terwujud mengingat perekonomian negara ini tidak sekuat dan semaju Korea Selatan yang akan meninggalkan buku paket secara bertahap mulai tahun 2015 mendatang.
Ekonomi kita memang tak semaju dan sekuat Korea Selatan. Namun kita bukan bangsa kerdil dan tentu mempunyai keinginan yang besar untuk maju. Tak ada salahnya mendorong untuk perubahan yang lebih baik termasuk soal penggunaan kertas. Setidaknya walau sulit terwujud, dorongan tersebut akan tercatat dalam sejarah pergulatan bangsa kita di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H