Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bangsa yang Terjerumus di Lubang Subsidi

19 November 2014   00:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:28 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Disadari atau tidak, kita ini terlalu lama dibuai dengan subsidi. Hampir di semua bidang dan lini hidup kita disuguhi subsidi dalam bentuk baru dan nama yang berbeda.  Seorang mahasiswa dikontrakan tiap bulan di “Subsidi Bekal Hidup” oleh orang tuanya.  Dia merasa bangga dengan besaran uang yang masuk rekening daripada bangga pada temannya sesama mahasiswa yang juga kuliah  sambil nyambi jadi kuli di pasar sayur atau kerja paruh waktu lainnya. Mayoritas begitu.

Di jenjang pendidikan mulai  dari Sekolah dasar hingga menengah, kepala sekolah secara berjamaah dengan guru memberi “Subsidi Nilai” pada anak-anak, terutama yang sudah duduk di kelas akhir, agar nilai mereka memenuhi syarat untuk diluluskan dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

Yang lebih miris tentu di perguruan tinggi. Masih terbetik atau sering terdengar berita dari mulut ke mulut bagaimana seorang mahasiswi terpaksa menjual “harga dirinya” demi mendapat “Subsid Akademik” dari dosen mereka agar perkuliahan yang dijalani selesai pada waktunya.

Dalam bidang ekonomi juga begitu. Ada anak yang sukses menjadi pengusaha karena mendapat “Subsidi Modal” dari  bapaknya yang juga seorang pengusaha. Dalam dunia birokrasi, masih banyak  seseorang menjadi PNS karena namanya tercantum dalam laman “Subsidi Jabatan” bapaknya sebagai seorang terpandang di tengah masyarakat atau kepala SKPD tertentu. Minimal anak anggota Dewan atau politisi serta LSM garis keras. Tak diterima si anak jadi PNS timbul konsekuensi, jabatan dicopot atau kebobrokan terus dibongkar. Di pemerintahan terutama daerah ada juga “Subsidi Karir”. Loyal pada atasan mau atasan salah atau tidak, berarti peluang dapet eselon “basah” kian terbuka. Sebaliknya jika tak loyal, bersiaplah di “Kompensasi” (baca digeser)  jabatan  yang bersangkutan

Dalam dunia politik? Jangan tanya lagi. Siapapun penguasa negeri, yang namanya subsidi selalu dijadikan senjata. Baik atau buruknya tergantung siapa yang memegang senjata. Makna subsidi boleh ditafsirkan secara bebas. BBM tidak dinaikan, Cuma subsidi yang dikurangi. Apa bedanya? BBM dinaikan agar warga negara tak melulu tergantung pada subsidi. Lalu diberikan “kompensasi” padahal bisa juga disebut subsidi dalam bentuk lain. Yang satu disubsidi dalam bentuk keringanan harga barang, yang lain lebih pada pemberian uang secara tunai.  Menggelikan.

Benar bahwa BBM tidak naik karena subsidi yang ingin dikurangi. Tapi pandangan  itu milik pengambil kebijakan. Bagi rakyat awam mereka hanya tahu  bahwa ongkos naik angkot hari ini sudah lebih mahal dari hari kemarin. Memang tak serta merta salah pemerintah, karena pada masa-masa sebelumya kita sudah mengalami ketergantungan pada subsidi, di segala hal dan di semua bidang kehidupan.

Hidup di negara kaya subsidi walau bentuknya “aneh-aneh” seperti di Indonesia memang sangat mengasyikan. Moga saja nanti negara dan alim ulama tergerak untuk membumikan “subsidi Amal” agar warganegara kita tak terjerumus di lubang sama dan semuanya dijamin masuk surga kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun