Secara politik, orang tua saya dulu ketika Orba masih berkuasa tergolong netral. Beliau tak pernah terbuka pada kami tentang partai apa yang dicoblosnya dibilik suara. Ada rasa takut di hati mereka mengingat rezim orba saat itu sangat gesit "melacak dan meredam" siapapun yang berani beda pandangan atau mengkritisi kekuasaan mereka mulai dari pusat hingga daerah. Salah satu korbannya justeru adik kandung ibu saya sendiri. Dia terpaksa mondar-mandir menghadap panggilan aparat saat itu karena sebagai pengurus masjid dia dianggap lancang, berani memadamkan lampu masjid saat seorang aparat pemerintah mengadakan safari bernuansa kampanye partai politik tertentu.
Untunglah dia tak lama di interogasi karena kuatnya dukungan jamaah dan “hadirnya” orang kuat lain yang membela perbuatannya. Tempat ibadah memang tak boleh dilakukan untuk kampanye. Namun saat itu, semua aturan dilanggar. Kampanya partai tertentu boleh dilakukan di mana saja, yang lain hanya boleh kampanye di kuburan. Di tempat lain perizinannya sangat rumit. Sudah medapat izin maka “teling-telinga penyadap” akan mengintai materi yang disampaikan. Menyimpang sedikit saksi dari berbagai jenis dan cara diterapkan. Bantuan yang terhambat, perizinan yang rumit dan sebagainya.
Dari sini muncul ketidaksukaan saya pribadi terhadap rezim berkuasa. Saking tak sukanya, ketika masih kelas 2 SMA, saya sudah didaulat jadi wakil sekretaris PPP kecamatan Pagaralam, sekarang Kota. Namun tak bertahan lama dan ditinggal menjelang ujian tiba.
Walau rasa tidak suka pada rezim penguasa saat itu sangat tinggi, dalam bebraapa hal saya juga sangat mengagumi mantan presiden Soeharto. Terutama dari segi nyali. Bagi saya yang hidup di dunia orba dan orde reformasi, nyaliSoeharto sulit ditandingi oleh para penerusnya.
Ada 2 catatan nyali Soeharto yang melekat dalam ingatan saya.
1.Saat para pendukung Timor-Timur merdeka yang berasal dari mancanegara akan melakukan aksi provokatif, yakni menabur bunga dari kapal Lusitania Expresso di perairan Indonesia, sebagai simbol dukungan terhadap kemerdekaan Timor-Timur, Soeharto bersumpah akan menenggelamkan kapal tersebut jika 1 inci saja memasuki wilayah NKRI. Mulanya “si kapal” meremehkan ucapan tersebut, akhirnya mereka keder dan kembali ke Australia setelah tahu Pesawat Tempur kita mulai mengudara dan pemerintah mulai memobilisasi persenjataan dan pasukan. Luar biasa.
2.Ketika pecah peperangan di eks Yugoslavia yang melibatkan tentara Serbia, Bosnia dan Croatia yang ingin memisahkan diri, Soeharto berani mengunjungi Bosnia dengan melintasi wilayah udara daerah konflik tanpa jaminan keamanan dari PBB, pihak yang bertikai bahkan teroris. Peringatan ancaman dan kecaman diabaikan oleh Soeharto. Dia tetap mengunjungi Bosnia untuk menunjukkan dukungannya dan tiba di sana dengan selamat. Inilah yang paling luar biasa bagi saya.
Karena itu bagi saya sekarang gampang. Seorang pemimpin dianggap bernyali bila berani melakukan perlawanan atas nama negara terhadap negara, bukan terhadap individu atau sekelompok kecil kelompok atau ormas. Terlebih kalau perlawanan itu dilakukan dengan “meminjam tangan” orang lain. Tak cukup alasan bagi saya untuk mendaulatnya lebih berani dan bernyali dari pada Soeharto.
Teruntuk semua pemimpin, tunjukkan nyalimu yang sejati!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H