Membaca tulisan salah seorang kompasianers mengenai kebencian FPI terhadap Ahok lalu dikaitkan dengan status Ahok sebagai Tionghoa Kristen menurut saya suatu kesemberonoan. Bagi saya semua orang Tinghoa itu sama. Tak peduli mereka Kristen atau Islam. Mereka tetap saudara sebangsa yang dulu pernah menjadi korban kerusuhan ketika reformasi akan bergulir.
Namun saya menolak tegas jika dikatakan kerusuhan tersebut terjadi secara sistematis dan sasarannya adalah Tinghoa yang beragama Kristen.
Saya adalah salah orang yang ikut kerusuhan dulu di kota saya. Namun cuma sekedar lempar batu, loncat sana dan loncat sini, main petak umpet dengan aparat yang saat itu memperlakukan demonstran dengan kasar. Ketika massa merangsek toko sembako dan elektronik, jangan dipikir perbuatan itu dilakukan secara sistematis seperti hasil penyelidikan media barat yang bias. Mari kita pandang secara arif. Saat itu dan hingga kini, terutama di kota saya, bisa dikatakan 90% toko sembako dan elektronik dimilki oleh orang Tionghoa, baik Kristen atau Islam. Ketika harga sembako melambung tinggi, massa merangsek untuk menguras semua isinya. Termasuk studio fhoto terbesar di kota saya turut ingin dijebol. Namun gagal karena bantuan aparat mulai berdatangan dari kabupaten.
Saya yang menjadi saksi perbuatan tersebut hanya geleng-geleng kepala. Maksud demo yang baik berubah jadi anarkis. Semakin merinding mendengar para provokator berteriak,”Bakar!” Saya ingat, sebagian besar warga di kampung kami dulu langsung meraptkan barisan untuk melakukan pembelaan mendengar isu akan ada pembakaran. Mereka pikir kalau ada pembakaran rumah warga tak terkena dampaknya? Kebetulan kampung kami banyak dihuni oleh orang Tionghoa. Ada dua gereja disini. Di sinilah sebenarnya perlindungan itu terlihat tanpa memandang etnis, golongan atau agama. Karenanya salah besar kalau perbuatan merusak saat itu dikaitkan dengan kebencian secara menyeluruh. Pelakunya hanyalah orang-orang tak beradab yang menjadikan kekisruhan untuk meneguk keuntungan lain.
Percayalah, tak ada umat Islam yang setuju dengan perbuatan tersebut, kecuali umat yang jahil. Peristiwa itu mengandung hikmah yang besar. Sejak peristiwa tersebut, perhatian pemerintah terhadap etnis zTinghoa semakin tumbuh. Etnis Tinghoa semakin membaur dengan warga sehingga keakraban yang terjalain dapat meminimalisir potensi konflik. Harus diakui itu. Jangan memandang sisi buruknya saja.
Makanya dalam pandangan saya, tidak etis kalau kita terus mengenang masa lalu yang dapat membangkitkan kebencian pada pihak lain seolah-olah orang Tionghoa, terutama Tionghoa Kristen benar-benar di zalimi oleh mayoritas. Mestinya mulai sekarang kita sepakat, kebencian tak boleh dikembangkan, ia harus disekap di ruang musium agar jadi pembelajaran bagi generasi berikutnya. Silahkan mengulas sejarah dengan fair dan objektif tanpa tendensi mendiskreditkan pihak lain. Mengulas sejarah berkebalikan dengan itu hanya akan menambah kecurigaan baru yang tak ada gunanya. Siapa yang rugi dengan hal ini? Jika anda merasa diuntungkan, teruslah memelihara perasaan terus dizholimi tersebut sampai syaraf di kepala anda ada yang terputus.
Saya berharap, kiita semuanya juga berdoa, kejadian tragis dulu yang menjadikan Tionghoa sebagai sasarannya semoga hanya terjadi satu kali dalam pusaran sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H