Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menyimak Kekuatan Artikel Pepih Nugraha

9 Januari 2015   22:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:28 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Salah satu kekuatan yang terbaca dari tulisan Pepih Nugraha adalah gaya bahasanya yang mengalir lancar, mudah dicerna oleh siapa saja dan terkesan tidak terlalu pamer intelek.  Kita diajak berkelana dengan pengetahuan yang dia miliki. Nyaris tak kita temukan kata-kata “aneh” yang bikin kening berkerut dan kemudian bertanya-tanya apa artinya. Semua disuguhi kalimat yang sederhana, lugas, bernas, runtut dan gampang diserap otak. Tak ada istilah-istilah yang membuat kita stres seperti dikejar militan atau penagih hutang. Kalau pun ada istilah-istilah asing yang dipakai, Pepih Nugraha tak lupa memberi penekanan dalam kurung  agar pembaca merasa terlibat sepenuhnya dalam petualangan "kata-kata" tersebut. Menurut saya, inilah yang menjadi ciri khas dan kekuatan menulis dari seorang Pepih Nugraha.

Ciri khas ini bukan sekali dua kali saya temukan dalam artikel yang bersangkutan. Tiga artikelnya yang terakhir cukuplah menjadi bukti bahwa Pepih Nugraha bukanlah tipe seorang penulis yang “memaksa” pembaca untuk menelan semua pengetahuannya secara radikal. Pepih membagi kelimuan yang dimilikinya secara bertahap dengan cara yang paling sederhana sehingga dapat dicerna oleh segala lapisan pembaca dan kadar inteletual mereka.

Tengok pada artikel Pepih berjudul “Soal Benar-Tidaknya Analisi Itu Urusan Belakang”. Agar maksud sebuah tulisannya  sampai pada pembaca, Pepih sengaja menghindari bahasa atau istilah-istilah yang membuat kening berkerut. Kalaupun ada istilah yang dipakai, mungkin dimaksudkan  agar pembaca terlibat pembelajaran secara gratis, dalam hal ini Pepih selalu menyisipkan makna atau pengertian dari istilah tersebut. Misalnya istilah-istilah berikut: mencari kebaruan (novelty), second resources(buku, kamus, ensiklopedia), gunakanlah etika (ethics) atau media arus utama (mainstream).

Contoh lainnya dapat kita temukan ketika Pepih membahas etika diskusi dalam media virtual. Dalam artikel berjudul Dalam Diskusi Virtual, Intelektual Saja Tak Cukup, tetapi Sopan-santun Juga”, Pepih mungkin menyadari tak semua pembaca kenal dan faham ilmu logika, karenanya ia menyelipkan pengertiannya agar sebuah istilah njlimet tadi dapat dipahami maksudnya. Ambil contoh ketika Pepih menyebut petitio pricipii yang dimaknai sebagai mengandung pertanyaan dan makna ini ditaruhnya dalam tanda kurung. Ada lagi,  non-probata (asumsi yang perlu dibuktikan),circulus in probando(kesesatan akibat argumen yang berputar-putar seperti lingkaran setan), mengabaikan pertanyaan (ignorantia elinchi) dan masih banyak lagi istilah-istilah yang dipakai Pepih Nugraha namun selalu diberi pengertian, sekali lagi, agar kita memahami maksud dan tujuan artikel dan merasa terlibat didalamnya.

Menyimak artikel besutan kang Pepih memang agak terasa beda dengan artikel kaum terpelajar lainnya. Saya seringkali menemukan sebuah artikel yang dipenuhi dengan istilah-istilah yang memerlukan tindak lanjut, mesti buka kamus dulu untuk memahami artinya. Kebanyakan istilah atau bahasa yang dipakai berbau bahasa asing, terutama Inggris. Saya tak berani menyebut mereka sengaja ingin pamer inteletual, namun tak ada salahnya saya anggap mereka menulis hanya untuk kalangan sendiri, bukan untuk semua orang dan lapisan. Yang faham hanya mereka sendiri atau orang-orang yang familiar dengan bahasa tersebut. Bagi orang udik seperti saya atau yang lain, nampaknya harus tersedia kamus disamping meja atau setidaknya terpaksa membuka translate Google untuk memahami maksudnya. Sayangnya waktu saya sangat singkat dan masih banyak bacaan lain yang perlu juga diberi “perhatian”.

Banyak orang yang menyukai bahasa-bahasa atau istilah yang rumit. Sementara saya pribadi mungkin lebih menyukai sebuah artikel pngusung kesederhanaan berbahasa yang mengalir tenang menuju samudera hikmah, bukan ketinggian istilah yang memaksa otak saya mendaki puncak kebingungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun