Beredar pendapat, bahwa Jokowi sengaja ‘meminjam tangan’ pihak lain dalam hal ini KPK untuk membatalkan keputusannya memilih Budi Gunawan sebagai Kapolri pengganti Sutarman yang akan pensiun Oktober 2015 mendatang. Keputusan KPK sangat dinanti untuk memberi pelajaran pada dua pihak, Kompolnas yang mengusulkan Budi Gunawan sebagai calon tunggal dan KMP yang menyetujui pencalonan tersebut, kecuali Gerindra yang belum menyampaikan pandangannya.
Benarkah anggapan demikian?
Kecil kemungkinannya Jokowi dianggap bermain cantik dengan memanfaatkan tangan KPK. Logikanya sederhana. Jika memang itu bagian dari permainan Jokowi, maka kubu pendukung pemerintahan tidak akan merespon negatif terhadap KPK. Nyatanya, KIH malah kebakaran jenggot. Sekjen Nasdem malah menyebut KPK sama saja “menampar” muka presiden. Artinya KIH marah besar terhadap langkah KPK. Andai ini adalah sebuah permainan cantik, logikanya KIH hanya tersenyum dan cukup bilang,”Kita harus hormati keputusan KPK.” Pernyataan ini lebih masuk akal daripada memberi reaksi negatif atas tindakan KPK. Apalagi setelah pengumuman status tersebut KIH langsung mengadakan rapat. Hal ini semakin membuktikan kalau KIH gagal bermain cantik.
Apakah langkah KPK menaikkan pamor Jokowi? Tidak. Pamor Jokowi naik jika saat mencalonkan Budi langkahnya ditentang oleh KIH dan sebaliknya KMP menyetujui Budi Gunawan. Ketika KPK tetapkan Budi sebagai tersangka, maka pamor Jokowi dan KIH yang melesat dan KMP ambruk karena terlihat sekali sosok yang disetujui KMP adalah bermasalah.
Lalu siapa yang pantas disebut sukses "bermain cantik?"
Kalau kita pikir lebih mendalam dan seobjektif mungkin, justeru KMP-lah yang layak disebut telah bermain cantik. Dalam otak saya, sesuatu itu dianggap sebuah permainan jika melakukan perbuatan antitesa. KIH mendukung Budi, sudah pasti karena Budi diusulkan Presiden yang diusung KIH. Dukungan KIH tidak menggambarkan sebuah permainan politik. Perilaku normal selaku koalisi pendukung pemerintahan. Sebaliknya, KMP secara logika mestinya menolak Budi karena berstatus oposan, tapi kenyataannya kok mayoritas fraksi KMP mendukung pencalonan tersebut? Menurut saya, disinilah letak permainan cantik itu sesungguhnya.
Timbul pertanyaan, dibagian mana kita kemudian berani menyimpulkan KMP telah bermain cantik dalam soal ini? KMP sadar, Budi adalah calon tunggal dari Kompolnas. Rasanya sulit menolak keinginan Kompolnas. Kompolnas punya mekanisme sendiri dalam mempromosikan seorang pejabat. Kalau KMP ngotot menolak Budi, mereka akan menjaring dua musuh sekaligus, Kompolnas dan publik. Bisa-bisa KMP dicap tirani mayoritas. Selalu memaksakan kehendak mentang-mentang menguasai parlemen. Untuk menepis anggapan miring tersebut, terpaksa KMP melakukan antitesa, membalik logika dengan menyetujui pencalonan Budi dan kemudian membatalkan “persetujuannya” melalui tangan KPK. Bukankah yang begini lebih masuk akal dianggap permainan cantik?
Tapi secara pribadi, saya tak yakin dalam kasus ini Jokowi atau KMP sengaja bermain cantik dengan memanfaatkan KPK. Mustahil mereka mau mempertaruhkan integritas masing-masing. Harganya sangat mahal karena meremehkan intelektual rakyat.
Bagi saya membahas siapa yang telah bermain cantik dalam kasus ini akhirnya tak menarik lagi. Bagian paling menarik itu mengikuti permainan cantik KPK saat membeberkan keterlibatan Budi dalam kasus suap dan menyimak kepiawaian Budi berkelit dari semua tuduhan penyidik KPK. Bukankah ini bagian paling menarik jika dikaitkan dengan substansi kasus itu sendiri?
Baca Juga :
Nasdem : Budi Gunawan Tersangka, KPK “Menampar” Muka Presiden Jokowi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H