Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Hak Imunitas KPK Memang Perlu Perppu-kan

25 Januari 2015   20:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:24 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saran sangat baik dicetuskan oleh Denny Indrayana agar Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang memberikan jaminan hak Imunitas dengan batasan tertentu terhadap anggota KPK. Usulan Denny ini beranjak dari keprihatinannya bagaimana dengan mudahnya persoalan hukum personal KPK yang terjadi di masa lalu dengan gampang diungkit seseorang  untuk segera diproses aparat berwenang. Menurut Denny, untuk menghindari itu, sudah saatnya hak imunitas terhadap KPK diberikan. Dengan hak imunitas ini KPK dapat menjalankan tgasnya dengan baik tanpa dikhawatirkan dengan persoalan hukum personalnya di masa lalu. (sumber)

Usulan Denny sangat relevan jika dikaitkan dengan kasus yang menimpa BW. Sebagai unsur pimpinan KPK yang dulunya bertindak sebagai pengacara, tentu banyak sekali celah yang bisa dimanfaatkan pihak lain diluar institusi Polri untuk menjatuhkan kredibelitasnya. Padahal kebenaran dari suatu kasus yang disangkakan tersebut masih gelap. Benar tidaknya  perlu diperdebatkan dulu dipersidangan.  Namun ketika aparat hukum mempunyai tiori lain, praktis menetapkan seseorang sebagai tersangka dan kemudian menahannya bisa dilakukan cukup bersandar dengan argumen “khawatir melarikan diri, menghilangkan alat bukti.” Dan argumen lainnya yang sesuai dengan ketentuan berlaku. Repot sekali menjadi pimpinan KPK kalau peristiwa masa lalunya terus diungkit. Walau kasusnya sudah selesai, bisa saja kan diungkit dengan alasan telah menemukan “alat bukti baru”.

Kalau persoalan masa lalu  seseorang terus diungkit, seperti kasus BW, maka akan banyak manusia Indonesia yang menjadi pesakitan dipersidangan. Mayoritas manusia Indonesia sudah terbiasa melakukan pelanggaran hukum seperti menyuap petugas dishub saat ditilang,  menyuap atasan saat roling jabatan, menyuap pak RT, lurah atau kades  saat mengurusi surat-menyurat. Perkara suap-menyuap memang  budaya lama yang mengakar di Indonesia dan terus dilestarikan pelakunya tanpa punya rasa malu.

Memang bukan maunya kita melakukan itu. Tapi realitasnya, jika tak dilakukan, apapun urusan kita yang memerlukan kelengkapan surat-menyurat otomatis menjadi terhambat. Selalu ada alasan yang dicetuskan aparat birokrat  ketika memberitahu surat yang kita minta  belum selesai. Pak lurah tak ada di tempat, pak RT lagi minggat, atau pak Kades baru sebulan dipecat. Maaf, yang  anda butuhkan terhambat. Mau cepat? Gelontorkan lima puluh ribuan dua ikat! Terpaksa alasan-lasan  tadi membuat kita merogoh kocek lebih dalam lagi dengan tangan menegang kuat. Jengkel!

Apa yang kita alami, pasti tak berjauhan dengan apa yang dialami pimpinan KPK dahulu. Mungkin lasan itulah yang menjadikan mereka pribadi anti korupsi atau suap. Sayangnya masa lalu tak bisa dihilangkan begitu saja.

Kembali pada saran Denny, jikalau memang Jokowi punya itikad baik untuk memberantas korupsi bersama KPK, tentu tak ada alasan bagi beliau untuk mengeluarkan Perppu dan memberi hak imunitas kepada anggota KPK dengan pembatasan tertentu. Kasus hukum sedang dan berat tidak dijamin hak imunitasnya. Cuma kalau sekedar pernah menyuap pak RT atau meninju tukang parkir yang suka memeras, saya pikir hak imunitas perlu diberikan. Kasusnya bisa diusut selesai menjabat.

Selama KPK tak punya hak imunitas, maka prospek penegakkan hukum dapat saja terhambat. Tanpa hak imunitas, Polri juga bisa dibuat repot karena terpaksa mengusut kasus yang disangkakan pada KPK dari seseorang atau lembaga.  Walau kelak dikemudian hari laporan masyarakat tersebut tak ada kaitannya dengan perseteruan antara "Cicak dan Buaya" seperti yang banyak diyakini orang, mengusut petinggi KPK kelak bisa jadi dianggap upaya Polri untuk melemahkan  KPK berkaitan dengan dendam masa lalu. Katakanlah terjadi tahun 2019 mendatang. Nah, Polri dan KPK lagi yang kena getahnya. Musuh KPK dan Polri menabuh gendang. Para koruptor kembali bertepuk tangan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun