Mohon tunggu...
Erwin Abdillah
Erwin Abdillah Mohon Tunggu... Jurnalis - #KisahDesa

Seorang anak desa yang kembali ke desa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jangan Bermain Api, Nanti Kamu Jadi…

19 Januari 2015   17:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:49 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hati-hati. Kamu tidak sedang merokok khan? :) Beberapa waktu lalu, tepatnya 22 Desember 2014 dini hari ada sebuah pengulangan yang tak ingin diulangi semua orang. Yang katanya selalu diulangi tiap 10 tahun sekali di kota ini. Tapi itulah lingkaran setan, mereka bilang bisa mengusir setan, namun belum tentu bisa merusak lingkarannya. Lingkaran pertemanan, lingkaran kecil, lingkaran besar, sejak TK sudah kita pelajari nyanyiannya (setan). Tanggal sakral itu merupakan sebuah coretan terkutuk di kalender, selain peringatan hari ibu, menjelang Natal, juga perayaan tahun baru. Sepertinya budaya api unggun sejak jaman primitif memang tak bisa dihapus begitu saja. Bayangkan saja dialog ini, yang entah bisa saja dinarasikan oleh para pembakar pasar. “Bagaimana supaya ramai, kita bakar saja pasar ini. Toh mereka (para pedagang) itu sudah kaya. Kita (pembakar terkutuk) bahkan hanya bisa jadi pesuruh-pesuruh dan juga keset mereka yang punya uang!” Lalu berbekal sedikit minyak, mungkin premium yang harganya baru saja naik 2500 perak, mereka mulai tertawa kesetanan, memanggil setan. Cossssss…. kiltan api terlihat dari pantulan bola mata mereka yang kurang tidur. Sambil meneriakkan sumpah-serapah yang jadi doa, mereka mulai melempari beberapa kios dengan gombal yang mereka lumuri bensin itu. Setelah siap berlari, mereka menyalakan korek masing-masing. Sepersekian detik gambaran masa kecil mereka terlintas begitu saja, seperti saat menemukan momen bersejarah. Di benak masing-masing dari manusia setengah setan itu ada suara merdu ibu, kakek, entah mungkin juga tetangga mereka yang berteriak. “Jangan main api! Nanti rumahmu bisa terbakar, nak!” Sekelibat ingatan itu diusapnya begitu saja dari jidat laknat mereka. Yang dibayangkan adalah segepok uang entah dari siapa, mungkin cukup untuk sekedar melunasi hutang cicilan motor mereka yang ditunggak enam bulan atau lebih. Lalu.. Oops! Jatuhlah api pertama pada kain gombal pertama di kios pertama. Salah satu dari mereka, entah bertiga, entah berlima, entah mungkin sendiri namun terpecah karena otaknya gila. Salah satu itu sempat ragu dan teringat suara guru ngaji yang mengeja Aa Ba Ta Tsa di Surau awal 90an dulu. Tapi melihat kembali kantong-kantong mereka yang bolong, anak istri mereka yang butuh piknik, mereka lalu mantap. Setan sudah jadi pelindung, Bahkan Neraka bisa mereka renovasi nanti, tobat soal gampang. Sehelai nafas yang memisahkan mereka dengan dosa itu akhirnya terhembus juga. Api-api kecil menyala. Api-api besar menggila. Sandal karet, sepatu anak-anak, kantung-kantung plastik bekas, semua mengkerut menghitam. Ada jutaan bungkus makanan kecil, milyaran molekul karbon melayang-layang terperangkap di bangunan beton yang terlihat kokoh itu. Lalu minyak, sabun, minuman ringan, semua mendidih. Langkah-langkah keparat-keparat tadi sudah sampai di jalan aspal. Waktunya memanggil pemadam kebakaran, tapi tunggu barang 3-4 menit hingga setan menguasai tiga lantai itu, hingga kecoak-kecoak meletus kepanasan. Bau arang segar bercampur anyir uang receh yang tertinggal di kios-kios kecil itu makin merebak, bercampur dengan lelehan sabun yang jadi lilin. Lilin yang tak mau mati hingga lima hari. Setan tak pernah kenyang, mulutnya lebar seperti lubang hitam di ujung galaksi sana. Di dalamnya hanya hitam, tak ada asap, tak ada suara. Orang-orang berdatangan berdesakan, ada yang menyiram, ada yang menangis, ada yang pingsan, ada yang makan, ada yang teriak, ada yang hitam, ada yang jahanam. [caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="Bawa Pulang / Foto Erwin Abdillah - Canon EOS 30D"][/caption] Lalu mata mereka semua jadi sama, seperti warna api di pasar itu, yang katanya rumah setan, kini benar-benar jadi makanan setan. Setan pula yang tadi menyalakan korek murahan yang mereka curi dari penjual rokok miskin di ujung jalan. Lalu mereka berkumpul setelah menghabiskan berkaleng-kaleng cat dan melukis jalan aspal dengan kotak-kotak yang pagi nanti akan mereka jual. Mereka menyalakan rokok seperti sedang menyalakan cerutu kemenangan. Mereka ingin mabuk, tapi enggan karena hampir subuh. Orang-orang berlarian memadamkan api, mengabarkan peristiwa, ada yang jatuh dan mendadak gila, ada pula yang tak peduli lantas pergi begitu saja sambil memandangi orang-orang yang merokok sambil menutup mata. Entah berapa jumlah mereka. Ada Adzan subuh, semua jadi beku. Tangan mereka masih memegang rokok tersumpal di bibir. Orang-orang itu yang wujudnya hitam legam beberapa masih memegang kuas. Cat putih, cat hijau, cat ungu, cat merah, ada pula cat hitam. Mereka rampok saat hendak membakar pasar, namun sebenarnya telah disediakan sang raja, sang jahanam. Nyala api rokok jadi biru. Asap jadi kelabu. Wajah mereka sempat memerah sebentar lalu jadi ungu. Adzan Subuh hampir selesai, mereka tidak bergerak, telinga mereka masih menangkap suara. Sehelai angin menerpa mereka, entah dari atas gereja, entah dari pucuk mustaka, tiba-tiba mereka jadi banal. Rambut mereka, kemaluan mereka, ujung jari, hingga bulu mata mereka seperti mati rasa. Orang-orang yang masih memegang rokok itu lalu melirik kanan kiri, semuanya sama. mereka semua jadi semakin hitam, kulit merekah, ada pula yang sudah kehilangan kepala. Orang-orang di pasar pulang, mereka melihat di ujung jalan penuh coretan. Ada beberapa patung mirip sekali orang. Tapi bukan orang. Arang. Lalu ada seorang ibu yang menuntun anaknya melewati jalan itu, hendak menilik kiosnya di tengah api. Anaknya sibuk memerhatikan patung-patung yang hampir hilang tersapu angin itu. “Jangan bermain api, nak. Nanti kamu jadi arang (dalam hatinya: Setan).” Si ibu tersenyum pada anaknya dengan senyum palsu dan mata yang beku. sambil melihat anaknya melukis sesuatu dengan sisa cat warna hitam: Selamat hari ibu! 13 Januari 2014 Bersama dendam untuk mereka yang membakar pasar. Erwin Abdillah post asli dari: https://erwinabdillah.wordpress.com/2015/01/13/jangan-bermain-api-nanti-kamu-jadi/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun