Beberapa hari lalu, saya pergi ke Jakarta dengan menaiki pesawat. Seperti biasa, suasana di Bandara Soekarno-Hatta seperti “ramai-lancar”. Bangunan terminal tua yang membosankan itu masih saja berdiri tegak dan ramai lalu lalang orang. Konsep Bandara Soetta sendiri sudah jauh –benar-benar jauh- tertinggal dibanding bandara luar negeri, bahkan beberapa bandara-bandara di nusantara ini. Bandara ini (untuk terminal 1 dan 2) masih menganut bandara hanya sebagai “jembatan” para pelancong dan turis menuju ke kota atau negara lain. Padahal, sebagian besar bandara di dunia sudah harus menganut bandara sebagai “one-stop place”, dimana para pelancong dan turis bisa membeli barang-barang mewah di bandara, menikmati kenyamanan bandara saat menunggu flight pesawat, dll. Bandara seakan sudah menjadi “mall” dimana penumpang harus dibuat nyaman saat menunggu penerbangan agar tidak bosan.
Kembali lagi ke Bandara Soetta, sebelum saya beranjak ke tengah kota, saya menyempatkan diri mampir ke terminal 3 “new”, yang katanya sudah seperti bandara di luar negeri. Sesampainya disana, sayapun sangat terkejut bahwa akhirnya Jakarta bisa memiliki Bandara seperti ini. Setelah beberapa saat menikmati suasana terminal baru, saya mulai merasakan bahwa AC yang ada dalam terminal kurang memadai sehingga terasa panas. Saya jadi teringat, pasti ada udang dibalik batu, begitu juga untuk proses pembangunan Terminal 3 New ini. Tahun ini terminal itu baru saja dibuka untuk mengakomodir para pelancong yang akan berlibur saat lebaran. Karena proses pembangunan terminal ini juga sepertinya “molor”, maka pembukaan terminal tersebut saat lebaran juga seperti dipaksakan. Sempat terdengar kabar bahwa Terminal 3 New ini mengalami banjir saat hujan, lalu lintas di pick-up point yang macetnya hampir 1 jam, sehingga itu banyak membuat penumpang kecewa, sampai keterlambatan flight pun beberapa kali terjadi.
Bagi saya, hal seperti ini sedikit mengganggu terutama untuk kenyaman pelanggan, sehingga mobilitas sehari-hari pun jadi terganggu. Untuk kedepannya, pemerintah dan instansi yang bersangkutan harus juga memperhitungkan waktu pembangunan infrastruktur (dalam hal ini bandara) dan perbaikan pada maintenance yang ada pada terminal itu, agar calon penumpang merasa nyaman dan menikmati selama menunggu di bandara. Kalau terdapat kasus ini, lebih baik jika pembangunan bandara tetap dilanjutkan sampai benar-benar selesai dan masalah jumlah penumpang yang bertambah banyak saat lebaran bisa diakomodir dengan pengaturan jam terbang pesawat, proses check-in yang lebih cepat, dan pengalihan penerbangan seperti berangkat/datang melalui Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H