Mohon tunggu...
Erwin Harahap
Erwin Harahap Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Setelah Berproses Belajar, Pantaskah Seorang Siswa Dapat Nilai Nol?

6 September 2016   11:55 Diperbarui: 7 September 2016   10:18 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: princess-chocolates.blogspot.com

Ramainya pemberitaan mengenai siswa kelas 1 SMAN 4 Bandung Dvijatma Puspita Rahmani yang diberi nilai nol di rapornya, mendorong saya untuk sedikit menorehkan tulisan sebagai opini pribadi terhadap dunia pendidikan kita saat ini. Saya juga dulu bersekolah di sekolah yang sama, SMAN 4 Bandung, dan saya bangga menjadi lulusannya. Saya masuk tahun 1991, lulus tahun 1994. Kami teman-teman sekelas hingga sekarang masih tetap berkomunikasi melalui medsos.

Selama menempuh pendidikan di SMAN 4 Bandung, saya memperoleh banyak ilmu dari para guru yang berdedikasi tinggi. Pengorbanan para guru demi anak didiknya tidak ternilai dan tidak tergantikan. Laksana orang tua, guru juga merupakan bagian dari keluarga yang turut menentukan masa depan bagi anak didiknya.

Dalam perjalanan belajar saya ketika itu, saya bertemu dengan guru-guru yang mendidik saya dengan tegas. Tak jarang ada juga guru yang menunjuk-nunjuk ke muka saya karena kesalahan yang tidak saya perbuat. Pernah juga dipanggil wakil kepala sekolah karena dianggap menyebarkan Islam sesat, atau dipanggil ke ruang kepala sekolah karena memecahkan banyak gelas kimia ketika bereksperimen untuk Pameran Karya Siswa Tingkat Propinsi di Tegalega sebagai wakil dari SMAN 4.

Rasa sakit hati tentu ada. Namun saat lulus, semuanya sirna sudah. Kepahitan yang terjadi selama proses belajar di SMAN 4 saya jadikan sebagai pengalaman berharga, bekal hidup untuk disampaikan kembali kepada anak cucu di masa depan. Terima kasih saya sampaikan kepada para guru SMAN 4 Bandung yang telah mendidik saya. Anda benar-benar para Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.

Kembali kepada adinda Dvijatma Puspita Rahmani, saya tentu menyayangkan hingga adinda tidak bisa naik kelas. Berbagai berita tersebar di media masa dan internet. Kedua belah pihak, baik sekolah maupun orang tua memiliki argumen masing-masing. Kedua belah pihak saling menyayangkan satu sama lain.

Saya sebagai orang tua siswa dari anak saya yang bersekolah di SMA dan SD, turut merasakan pedihnya hati, bagaimana apabila anak saya yang dinyatakan tidak naik kelas. Bagaimana beratnya perjuangan satu tahun bagi seorang anak, yang tiap hari berangkat sekolah, dengan perjuangan dari bangun tidur hingga tidur kembali. Berkutat dengan berbagai tugas sekolah, tugas rumah, dan lain-lain. Belum lagi biaya yang sudah dikeluarkan orang tua. Lebih jauh bagaimana tekanan mental yang akan dihadapi anak? Tidak naik kelas adalah seakan menjadi aib besar dalam kehidupan kita, Bangsa Indonesia yang menganut adat ketimuran. 

Saya juga memiliki pengalaman menjadi guru untuk tingkat SD, SMP dan SMA. Saya tahu dan paham betul, bagaimana susah dan sulitnya meningkatkan semangat seorang siswa yang susah sekali belajar. Namun dengan dorongan dan kesabaran, kita sebenarnya mampu meningkatkan semangat mereka.

Diakui atau tidak, sebenarnya ada juga rasa emosi dan capek saat kita mencoba berusaha secara terus-menerus, agar seorang siswa mau belajar dan semangat berangkat sekolah, walaupun nyatanya si anak seakan tak peduli akan usaha kita. Namun apabila kembalikan ke diri kita masing-masing, bagaimana kalau anak saya sendiri yang demikian, dan saya adalah orang tuanya. Apa kemampuan maksimal yang akan saya lakukan? Pengorbanan sebesar apa yang akan saya berikan?

Saya secara pribadi, saya sangat menyayangkan sikap para guru SMAN 4 Bandung, yang mengambil keputusan bahwa adindaDvijatma Puspita Rahmani tidak naik kelas. Anda bukanlah para guru SMAN 4 Bandung yang dulu yang saya banggakan. Anda tidak memiliki hati-nurani seorang guru. Anda tidak mau berkorban sebagai orang tua terhadap anak didiknya.

Jika ada pepatah mengatakan harimau adalah binatang buas tapi tidak tidak mungkin menyakiti anaknya, apa yang anda semua lakukan merupakan kebalikan dari pepatah tersebut. Seorang guru seharusnya mengangkat semangat seorang siswa, menaikkan keinginan dan usahanya dalam belajar. Namun yang anda semua lakukan justru menjerumuskan siswa ke jurang kegelapan yang sangat dalam. Apabila sampai terjadi kembali usaha bunuh diri dari siswa tersebut, ini sudah jelas, Anda semua harus ikut bertanggung jawab.

Seorang guru seharusnya sudah bisa dengan jeli melihat ada ketidakberesan dengan seorang siswa, jauh-jauh hari sebelum dijatuhkannya keputusan tidak naik kelas. Kenapa? Karena itulah kelebihan dari seorang guru! Seorang guru bisa melihat sejauh mana pergerakan seorang siswa, apa akibatnya nanti apabila siswa tersebut tidak berubah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun