Mohon tunggu...
Erwin Suryadi
Erwin Suryadi Mohon Tunggu... profesional -

Indonesia for better future

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Money Politik: Kesalahan Siapa ?

17 April 2014   09:15 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:34 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kita baru saja menyelesaikan satu tahapan dalam pesta demokrasi terbesar di negara kita, yaitu Pemilu legislatif pada tanggal 9 April 2014 kemarin. Seluruh mata baik di Indonesia dan juga dunia menyoroti pelaksanaan kegiatan tersebut. Tak kurang, berbagai lembaga survei juga berlomba-lomba untuk segera mengumumkan hasil pemilu tersebut dengan menggunakan metode quick count. Dari parpol sendiri, ada yang gembira melihat hal tersebut, tapi juga ada yang kebingungan mengenai hasil quick count tersebut. Tapi percaya atau tidak percaya mengenai hasil quick count ya sesungguhnya yang paling tepat adalah menunggu pengumuman resmi dari KPU mengenai perhitungan suara final dan juga jumlah kursi untuk masing-masing parpol kontestan pemilu.

Cerita pemilu dan quick count-nya sepertinya sudah menjadi wacana publik yang tidak perlu kita diskusikan secara lebih mendalam. Akan tetapi, yang menggelitik dari pelaksanaan pemilu ini, mana kala dalam beberapa hari terakhir ini, saya perhatikan banyak berita-berita yang beredar dengan judul "habis 600 juta, porter golf ini gagal menjadi wakil rakyat." (Vivanews, 17 April 2014), "Caleg artis cantik ini sudah habis ratusan juta namun terancam menjadi wakil rakyat" (slidegossip, 17 April 2014), "Saya stres sudah habis uang banyak" (Okezone, 10 April 2014) bahkan yang paling sedihnya ada berita mengenai "Caleg meninggal akibat serangan jantung" (Antaranews, 16 April 2014) dan masih banyak lagi pemberitaan-pemberitaan mengenai caleg gagal yang bisa kita konsumsi setiap hari.

Pemberitaan-pemberitaan tersebut membuat saya mencoba melihat secara lebih dalam mengenai apa sebenarnya yang mengakibatkan terjadinya hal-hal yang menyedihkan di balik pesta demokrasi tersebut. Walaupun banyak opini dan pendapat yang berkembang dari para pakar dan pemerhati politik, akan tetapi saya akan mencoba untuk juga sedikit urun pendapat dalam menyingkapi masalah bangsa yang perlu segera dicari jalan keluarnya.

Permasalahan utama yang perlu ditelaah adalah mengenai pembinaan caleg-caleg tersebut terkait dengan tugas dan fungsinya sebagai anggota legislatif. Pertanyaan yang sering muncul di kepala saya adalah "Apakah para caleg itu paham mengenai tugas dan tanggung jawab dari seorang legislator ?". Mengapa pertanyaan tersebut muncul, dapat kita lihat bahwa secara umum banyak caleg-caleg yang menjanjikan pada saat kampanyenya, berjanji akan: 1. meningkatkan kesejahteraan rakyat, 2. peningkatan infrastruktur, 3. peningkatan pelayanan kesehatan, 4. peningkatan pelayanan pendidikan, 5. peningkatan pasar lapangan kerja dan berbagai janji lainnya yang disampaikan melalui berbagai atribut yang ada. Menurut pesan orang tua, sering disebut bahwa janji adalah hutang. Sehingga masyarakat pasti mengejar para caleg itu untuk merealisasikan hutang-hutang kampanye tersebut. Padahal berdasarkan UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) disebutkan bahwa tugas dan wewenang DPR adalah:


  • Membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
  • Membahas dan memberikan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pernerintah Pengganti Undang-Undang
  • Menerima dan membahas usulan Rancangan UndangUndang yang diajukan oleh DPD yang berkaitan dengan bidang otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi Iainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dan mengikut sertakan dalam pembahasannya dalam awal pembicaraan tingkat I
  • Mengundang DPD pntuk melakukan pembahasan rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPR maupun oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada huruf c, pada awal pembicaraan tingkat I
  • Memperhatikan pertimbangan DPD atas Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-Undàng yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama dalam awal pembicaraan tingkat I
  • Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD
  • Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama
  • Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD
  • Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
  • Mengajukan, memberikan persetujuan, pertimbangan/konsultasi, dan pendapat
  • Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat
  • Melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan undang-undang


Dengan membandingkan tugas dan wewenang DPR dibandingkan dengan hutang-hutang para caleg ini, maka dapat kita lihat bahwa rasanya sulit bagi seorang anggota legislatif dapat merealisasikan janji-janji tersebut mengingat fungsi legislatif adalah legislasi, pengawasan anggaran dan penyerapan aspirasi masyarakat. Sedangkan janji-janji yang diberikan adalah murni fungsi eksekutif. Selanjutnya, setelah nantinya terpilih, DPR juga memiliki tugas untuk menyerap aspirasi masyarakat pada saat DPR melakukan kunjungan kerja maupun reses. Pada masa ini, konstituen pasti akan menanyakan kapan terealisasinya janji-janji kampanye tersebut.

Dalam pemenuhan janji-janji tersebut, mau tidak mau seorang anggota legislatif akan kembali menekan Pemerintah untuk bisa memfasilitasi janji-janji kampanye mereka dengan menggunakan kekuasaan pengawasan anggaran. Dimana istilah yang sering kita dengar dan juga menjadi alasan Pemerintah bahwa anggaran belum bisa diserap karena masih di"bintang"i oleh DPR. Disini mulailah terjadi perombakan-perombakan program kerja Pemerintah yang tadinya sudah disusun rapi, dan sebelumnya sudah didiskusikan antara kementerian teknis - Bappenas - kementerian keuangan dan memperoleh persetujuan dari Presiden Republik Indonesia. Program yang sudah matang tersebut harus dibongkar dan terjadi pengulangan proses hanya untuk memasukan janji-janji DPR tersebut.

Kejadian tersebut, sebenarnya masih dapat kita maklumi pada saat permintaan anggota DPR tersebut memang untuk kepentingan konstituen dan memang harus segera difasilitasi, karena memang Pemerintah pun kerap kali kesulitan untuk mendapatkan informasi daerah-daerah mana saja yang perlu diperhatikan walaupun Pemerintah Pusat sudah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah. Mengapa bisa begitu ? ini akan dibahas pada kesempatan lain. Kembali ke pembahasan, yang menjadi masalah adalah pada saat ada oknum anggota DPR yang kebetulan terpilih, tidak terlalu dekat dengan konstituen dan memahami aturan penganggaran ini untuk mencoba bermain anggaran dan menjadikan proses penganggaran ini sebagai tempat untuk menambah kekayaan dan untuk membayar pengeluaran-pengeluaran politik selama ini.

Inilah sebenarnya, menurut pendapat saya sebagai seorang akademisi, skenario yang kemungkinan bisa terjadi tentang terbentuknya mafia anggaran yang belakangan ini marak dan terbukti ada beberapa anggota Dewan yang harus berakhir di tahanan. Selanjutnya apa dampak dari sistem mafia anggaran ini ? Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, ada beberapa dampak sistemik yang terjadi disebabkan oleh sistem penganggaran seperti ini, misalnya:


  • Fungsi Bappenas sebagai pembuat grand design perencanaan negara ini menjadi tergerus dikarenakan banyaknya perubahan-perubahan yang terjadi karena permintaan-permintaan spontan dari anggota dewan pada saat pembahasan anggaran.
  • Pembangunan menjadi terhambat karena adanya kelambatan-kelambatan proses persetujuan anggaran, dan pada akhirnya pemerintah juga yang di"tegur"oleh DPR pada saat tingkat penyerapan masih rendah.
  • Karena fokus pada penganggaran, tingkat ketercapaian Program Legislasi Nasional (Prolegnas) menjadi rendah dan banyak payung hukum yang tidak bisa segera terselesaikan, misalnya seperti revisi UU migas.
  • Kualitas UU yang dihasilkan banyak yang kurang baik, terbukti dengan banyaknya pasal-pasal substantif yang dibatalkan oleh MK, sehingga mengganggu kepastian hukum negara.


Menurut saya, ini adalah sebuah kondisi yang membahayakan bagi sistem presidensial yang kita anut. Apakah memang sistem tersebut masih cocok untuk negara kita ? Apalagi dengan konsep pemilihan langsung, yang akan terpilih masuk ke Senayan adalah orang-orang yang memiliki popularitas dan keuangan. Sedangkan orang-orang yang memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah bangsa melalui program legislasi kebanyakan harus gigit jari karena tidak populer.

Jadi kembali ke judul yang diangkat, saya berpendapat bahwa money politik terjadi karena kesalahan sistem dan peraturan perundangan yang ada. Dimana pada pemilihan anggota DPR yang mengedepankan popularitas dan bukan kompetensi. Berkaca pada kata popularitas, maka tidak salah kalau banyak pakar memunculkan istilah political marketing, yang selanjutnya bisa disimpulkan bahwa markteting atau pemasaran salah satu unsurnya adalah promosi. Promosi sendiri berarti uang. Jadi menurut saya, jangan salahkan para caleg yang terus melakukan politik uang selama sistem pemilihan langsung dan kontes kepopuleran masih dipertontonkan. Jangan salahkan anggota legislatif yang berubah menjadi mafia anggaran untuk mengganti biaya politik yang telah dikeluarkan. Karena dengan sistem pemilihan langsung ini, politik dan posisi sudah dijadikan sebagai dagangan. Dan kembali dagangan pasti berhubungan dengan uang. Seharusnya nasib Bangsa dan Negara serta Rakyat Republik Indonesia tidak boleh digadaikan oleh Uang.

Untuk itu, semoga para calon pemimpin bangsa yang terpilih nanti dapat memperhatikan permasalahan ini dengan lebih jelas lagi dan lebih komprehensif lagi. Sehingga ke depan atau tepatnya pada pelaksanaan pemerintahan periode 2014-2019, mafia anggaran tidak lagi merajalela dan politik uang di Pemilu 2019 tidak terjadi lagi. Sehebat-hebatnya KPK ataupun unsur yudikatif memberantas korupsi pasti tidak akan pernah bisa menyelesaikan politik uang ini, selama Peraturan Perundangan kita terkait dengan Pemilihan Anggota DPR/DPRD serta fungsi pengawasan anggaran masih tetap sama.

Jakarta, 17 April 2014

Erwin Suryadi

Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun