Mohon tunggu...
Erwin Suryadi
Erwin Suryadi Mohon Tunggu... profesional -

Indonesia for better future

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Blusukan di Commuter Line Jabodetabek

12 September 2014   20:10 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:52 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu, sebagai dosen pada salah satu PTS di Jakarta, saya mendengarkan banyak aspirasi dari kawan-kawan sejawat terkait dengan mobilitas mereka sehari-hari dalam menempuh perjalanan pulang pergi dari rumah ke tempat mengajar di bilangan Semanggi. Penasaran dengan diskusi tersebut, maka saya mencoba melakukan research kecil-kecilan ala Cak Lontong, utamanya mengenai tempat tinggal dari kawan-kawan dosen tersebut. Ternyata dari survey yang didapat, maka ditemukan ada 2 tempat favorite yang menjadi tempat tinggal dari para dosen tersebut, yaitu: Bogor dan Serpong/Tangerang. Dalam diskusi tersebut terungkap bahwa ternyata dengan menggunakan KRL atau dalam bahasa kotanya disebut dengan Commuter Line, maka banyak orang merasa bahwa moda transportasi ini merupakan moda transportasi yang cocok dalam menghadapi kerasnya kemacetan di jalan tol yang setiap harinya diserbu oleh ratusan ribu sampai jutaan orang yang mencari nafkah di Ibukota Republik Indonesia tercinta ini. Peningkatan kemacetan tersebut memang merupakan bukti bahwa aktifitas perekonomian Indonesia khususnya di Jakarta memang baik dan terus meningkat, akan tetapi di sisi lain memberikan kontribusi pemborosan yang luar biasa khususnya pada isu penghematan kuota BBM bersubsidi yang sedang ramai didiskusikan oleh banyak orang di Republik ini. Kembali ke cerita mengenai KRL tersebut, sambil mendengarkan cerita para dosen tersebut mengenai kenyamanan dalam menggunakan KRL yang ber-AC walaupun memang selalu penuh sesak, saya mencoba flash back mengenai wajah KRL khususnya sebelum tahun 2012. Masih segar dalam ingatan saya bahwa saat itu KRL merupakan kendaraan khusus masyarakat kelas bawah, hal ini disebabkan oleh sarana kereta apinya sendiri yang tidak menggunakan AC, para penumpang dibiarkan bertumpuk-tumpuk seperti sarden dan bahkan banyak penumpang yang memilih duduk di atap kereta tersebut hanya demi mencapai tempat kerja di Jakarta ini. Dengan kondisi seperti itu, jelas orang-orang yang memiliki pekerjaan sebagai eksekutif pastilah enggan untuk menggunakan KRL tersebut dikarenakan dapat dipastikan dandanan dan parfum yang sudah dipersiapkan  untuk menghadapi bos dan klien akan rusak karena keringat. Inilah salah satu hal yang menjadi penyebab turunnya citra dari KRL pada waktu itu. Bayangan mengenai kondisi KRL yang masih seperti kaleng sarden tersebut, jujurnya masih terus terbawa sampai saat saya mendengarkan diskusi antar dosen tersebut. Selanjutnya, saya mencoba untuk ikut urun rembuk dengan kawan-kawan, khususnya mengenai pendapat saya mengenai citra KRL yang seperti kaleng sarden tersebut. Dari situ kawan-kawan dosen tersebut menjelaskan dengan bersemangat bahwa saat ini KRL sudah sangat nyaman walaupun kalau pergi pagi-pagi ke arah Jakarta dan pulang ke arah sebaliknya selalu penuh sehingga harus berdiri. Tapi untuk mereka, kondisi KRL saat ini sudah cukup baik dan malah perlu ditambah jumlahnya. Tertarik mendengarkan cerita dan diskusi tersebut, sampai pada suatu kesempatan saya hadir untuk berbicara di sebuah kampus di daerah Serpong. Saya pikir, inilah kesempatan saya untuk membuktikan secara langsung mengenai KRL yang banyak diceritakan oleh kawan-kawan sejawat tersebut. Dikarenakan saya baru pertama kali naik, maka rasanya saya perlu melakukan riset mengenai letak stasiun dan arah yang dituju serta jadwalnya.  Yang pertama saya temukan, ternyata saya telah menemukan website KRL pada www.krl.co.id. Dimana sebelumnya jujur tidak terbayang oleh saya bahwa KRL yang dulunya dianggap kaleng sarden memiliki website sendiri. Dari situ, saya mencoba melihat peta lokasi dimana tempat terdekat dan arah tujuan terakhir saya, dan dengan mudah saya temukan peta rute KRL seperti di bawah ini: [caption id="" align="aligncenter" width="288" caption="krl.co.id"][/caption]

Dari peta tersebut, ternyata saya sudah bisa merencanakan peta perjalanan sekaligus dengan mengenai pengaturan waktunya, mengingat jadwal saya pada hari tersebut cukup padat.

Selesai masalah perencanaan, selanjutnya tibalah pada fase pembuktian mengenai sarana dari KRL yang diceritakan dan di'gembar-gembor'kan oleh kawan-kawan tersebut. Saya memulai perjalanan dari stasiun Palmerah untuk mengarah ke Serpong. Dari awal masuknya, ternyata KRL sudah memiliki mesin untuk membaca kartu seperti e-money Mandiri, Brizzi BRI dan BNI tapcash, sehingga saya tidak perlu lagi membeli tiket di loket yang tersedia. Pada fase ini, saya merasa bahwa percaya diri dan keyakinan akan menggunakan KRL ini mulai naik dan sekaligus penasaran mengenai fasilitas kereta yang akan ditumpangi.

Sambil di stasiun yang terbuka, saya memperhatikan bahwa calon penumpang disana memiliki keragaman, baik dari usia maupun profesinya, bahkan pada saat saya menunggu kereta ternyata ada juga beberapa orang menggunakan jas serta ada juga beberapa orang turis mancanegara yang juga sedang menanti kereta tersebut. Tak lama kemudian, kereta yang dimaksud datang, dan saya bergegas masuk ke dalam kereta. Disitu saya merasakan bahwa KRL tersebut nyaman dan ber-AC, sehingga walaupun kebetulan tidak dapat tempat duduk, saya masih bisa dengan nyaman membaca bahan yang akan saya presentasikan.

Setelah kereta berjalan, sebelum tiba di Serpong, saya mencoba memperhatikan stasiun tempat KRL ini berhenti, dapat terlihat bahwa hampir semua stasiun pemberhentian ternyata lokasinya agak jauh dari jalan besar, dan cenderung dekat dengan pemukiman penduduk. Sampai pada akhirnya, saya tiba di stasiun Serpong, dimana saya pada saat itu menemukan masalah mengenai dengan menggunakan trasportasi apa saya dapat mencapai titik yang saya tuju.

Karena letak stasiun agak masuk ke pemukiman warga, saya temukan bahwa moda transportasi berikutnya hanya ada angkutan kota (angkot) dan ojek. Pada akhirnya karena saya belum mengerti arahnya, maka saya memilih ojek untuk dapat menempuh perjalanan ke tempat tujuan dengan harga jauh lebih mahal dari biaya KRL-nya sendiri.

Dari hasil blusukan tersebut, saya mencoba berdiskusi kembali dengan beberapa kawan dosen yang khususnya tinggal di Bogor, terutama terkait dengan letak stasiunnya tersebut. Ternyata, rata-rata kawan-kawan memiliki pemikiran yang sama bahwa ternyata ada permasalahan mengenai lanjutan perjalanan dari dan menuju stasiun KRL ini.

Sehingga pada kesempatan ini, saya bermaksud menyampaikan apresiasi kepada PT. KAI yang dimasinisi oleh Ignasius Jonan untuk merealisasikan sebuah mission impossible yaitu melakukan tindakan korporasi berupa pembenahan wajah perkeretapian Indonesia. Perlu kerja keras dan kerelaan beliau untuk terus dapat menggerakan sebuah BUMN yang selalu diidentikan sebagai seorang fat lady untuk menjadi seorang pekerja keras seperti sekarang ini. Walaupun belum sempurna, tapi usaha PT. KAI telah menunjukkan bahwa masih ada harapan di negeri ini untuk menjadi lebih baik. Permasalahan dapat diselesaikan dengan kerja keras dan bukan hanya berdebat dan berlomba-lomba untuk mencari publisitas di media.

Model kerja seperti inilah yang seharusnya dijadikan contoh dan orang-orang seperti Ignasius Jonan menjawab tantangan yang diberikan oleh Pemerintah selaku pemilik perusahaan PT. KAI dengan kerja keras dan bukti. Sehingga tanpa perlu melakukan tindakan yang cenderung over-publication, masyarakat secara word of mouth memberikan pengakuan terhadap hasil kerja tersebut. Rasanya negara ini memerlukan lebih banyak lagi orang yang mau bekerja bukan yang mau populer saja.

Semoga dengan contoh dan pengalaman yang sudah saya buktikan sendiri, orang-orang yang sudah membuktikan kerja kerasnya dapat diberikan kesempatan untuk membuktikan kembali kompetensi dan dedikasinya dalam lingkup yang lebih luas. Apabila itu terjadi, Insya Allah Indonesia akan menjadi semakin baik di kemudian hari, semua masalah pasti dapat ditemukan solusinya serta visi Bangsa untuk menjadikan masyarakat adil dan makmur berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila dapat maju selangkah demi selangkah.

Wass

Jakarta, 10 September 2014

Dr. Erwin Suryadi, ST, MBA

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun