Hampir setiap hari saya menyisir pantai utara Kabupaten Sumbawa, pada musim hujan sekarang ini sisi jalanan yang menghijau menjadi tempat berkumpulnya sapi untuk menemukan rumput. Bukan karena undangan hajatan para sapi berkumpul disitu, tetapi karena terusir dari lahan persawahan yang baru saja ditanami padi, dan lahan kering yang baru saja ditugali jagung. Diantara hamparan lahan yang luas, tak ada sedikitpun tersisa untuk ditanami rerumputan. itulah sebuah ironi dari "Bumi Sejuta Sapi". Kok bisa....?
Sore itu sepulang kerja kembali saya menyusuri teluk dan selat pesisir utara sumbawa, perhatian saya tertuju pada seekor anak sapi dipinggi jalan yang terhuyung huyung mengimbangi gerakan sapi dewasa lainnya saat mendengan suara klakson bus. Anak sapi itu sangat kurus dan begitu lemahnya, saya jadi sedih dibuatnya.Â
Seharusnya anak sapi yang masih sangat lemah, berada dalam kandang perawatan hingga tumbuh kuat. Selain anak sapi tersebut ternyata terdapat tiga lagi anak sapi lain yang kondisinya lebih memprihatinkan. Induk yang mengiringi gerombolan sapi itupun tampak sangat kurus, merabit rerumputan dengan cepatnya tanpa memperhatikan bahwa mereka berada dijalur lalu lintas yang padat dan berbahaya.
Tampaknya mimpi bumi sejuta sapi sangat sulit terwujud jika melihat ironi yang tampak jelas didepan mata. Entah berapa banyak anak sapi yang mati setiap harinya karena kekurangan pakan dan dilepas dipinggir jalanan, yang jelas hal ini menyita banyak perhatian dari pihak terkait untuk menggolkan Bumi Sejuta Sapi.
pada tahun 2009, program bumi sejuta sapi mendapat guyuran anggaran sebesar 30 milyar lebih (lihat Hal Peternakan) Anggaran tersebut telah dimanfaatkan petani peternak untuk pengadaan ternak sapi sebanyak 4.351 ekor, stimulan kandang kelompok 27 unit, rekruitmen sarjana membangun desa (smd) peternakan 50 orang, LM3 sebanyak 10 pesantren dan pengembangan unit lokasi inseminasi buatan (ib) 8 unit.Â
Diantara jumlah anggaran yang besar tersebut, tidak terdapat program pengembangan pakan ternak yang sangat dibutuhkan oleh sapi. Padahal menurut Abdul hadi faishal di mataram mengatakan bahwa Sumbawa sangat cocok dijadikan kawasan pengembangan Sejuta Sapi yang daerahnya terdiri atas banyak pegunungan dan membantu sapi bisa cepat berkembang. (lihat Bumi Sejuta Sapi, Apa Itu?). Lantas mengapa sapi masih berkeliaran dijalan raya ketika musim hujan dengan kondisi yang tidak terawat.
Beberapa tahun yang lalu, saya sempat berkomunikasi langsung dengan seorang kolega saya yang berprofesi sebagai peternak di desa Seran Kabupaten Sumbawa Barat. Ia mengatakan bahwa ia kerap kali mengalami kematian sapinya hingga 10 ekor secara bersamaan dalam satu bulan di musim penghujan. pengurangan jumlah sapi melalui kematian tentunya menghambat perkembangan populasi sapi sehingga meninggalkan garis target program bumi sejuta sapi.
Kegagalan program Bumi sejuta sapi juga dapat dilihat pada tulisan Swasembada Daging Sapi 2010 Gagal Dicapai, dalam tulisan tersebut dibeberkan kegagalan program BSS karena kebijakan pemerintah yang salah walaupun menggunakan anggaran yang sangat besar.
Sangat sederhana jika dilihat bagaimana sapi berkembang, pepatah "halaman tetangga lebih hijau" tampak pas untuk mengatakan bahwa sapi membutuhkan lahan pakan yang senantiasa hijau, seperti manusia yang membutuhkan pangan maka sapipun demikian, seperti padi yang membutuhkan lahan maka rumputpun demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H