Kita mungkin pernah melihat potret tentang hutan belantara bukan? terbayang banyak hal yang bersifat alami disana mulai dari lebatnya rimbunan kanopi, batang pohon besar, bunga tanah nan lembab, cerewetnya beburung, berisiknya serangga, gemericiknya mata air, gemulainya lambaian ranting dan udara yang sejuk untuk bergegas ingin kesana membawa paru paru tambahan tentunya. Kita kemudian menyimpulkan hutan belantara adalah harmoni alam yang tersusun indah.
Pameo “Tak ada pohon tak ada hutan” sungguh benar adanya, dari pohonlah sumber kehidupan bagi pemakan tetumbuhan (herbivora). Memang, dedaunan selalu berbaik hati mengubah energi matahari menjadi energi kimia dan menimbunnya dalam bentuk gula. Herbivora yang kekenyangan kemudian berkembang menjadi daging buruan yang lezat bagi hewan karnivora. Dalam liarnya belantara, pemakan segala (omnivora) bermunculan dengan padu padan santapan antara daun tumbuhan dan daging hewan. Semuanya, baik tetumbuhan, herbivora, karnivora dan omnivora akan kembali memenuhi siklus kehidupan belantara melalui mati, disitulah peran pengurai bekerja untuk mengembalikan semuanya kepada tanah. Pohon adalah awal kehidupan kompleks dimulai, kehidupan hutan.
Keberadaan satu jenis pohon semata tidak pernah cukup untuk dikatakan sebagai sebuah hutan, pepohonan di hutan haruslah beraneka dan beragam, beraneka ragam. Keanekaragaman adalah prinsip untuk menopang segala kehidupan yang ada didalamnya, jika tidak maka sistem kehidupan tidak dapat terbentuk, gejalanya berupa kepincangan disana sini yang kemudian tidak terkendali dan menyebabkan ambrolnya sistem. Semakin lengkap jenis tumbuhan dalam hutan maka semakin sempurna sistim yang terbentuk.
Jejaring mulai terbentuk dalam keheterogenan, teracak, rumit, tak terprediksi, dan penuh misteri. Tempat dimana semua makhluk mengais rezeki, saling memakan tetapi bukan bermakna meniadakan, saling mengendalikan, saling berbagi hingga tak ada yang lebih dominan melebihi proporsinya, senantiasa berulang seperti itu untuk memperbaharui kesesuaian. Mekanisme yang bekerja dalam jejaring itu kemudian menguatkan dan mengekalkan sistem. Inilah yang disebut jaring jaring kehidupan sebagaimana analogi kehidupan menurut Fritjof Capra .
Kembali kepada flora yang menjadi fokus utama tulisan ini, tidak dapat dibayangkan jika tetumbuhan didalam hutan itu seragam, sebagaimana istilah hutan jati yang sering diwacanakan belakangan ini, begitu pula hutan pinus, hutan karet dan yang lebih ekstrim lagi hutan sawit. Pemberian istilah yang kurang tepat jika makna hutan dapat terpenuhi hanya dengan satu jenis tumbuhan saja, jika demikian maka persawahan padi dapatlah dikatakan hutan padi, reduksi yang berlebihan bukan ?. Tetapi hutan haruslah beragam.
Keanekaragaman akan menggaet sub sistem baru dari daerah sekitar guna mendukung pertumbuhan dan perkembangan hutan, mereka adalah serangga penyerbuk, hewan pemakan buah dan pemencar biji. Hewan itulah yang bekerja menganekaragamkan hutan, serangga penyerbuk meramu genetik tetumbuhan melalui bantuan penyerbukan (polinasi), sedangkan hewan pemencar mengatur jarak bahan genetik agar tidak tumbuh pada jarak yang berdekatan untuk menghindari inbriding (kawin dekat). Keanekaragaman dibentuk oleh hewan penyerbuk dan pemencar.
Bernaung di dalam belantara senantiasa berjibaku dengan ancaman. Bagi tumbuhan, strategi untuk mempertahankan spesies hanya dengan memperbanyak variasi genetik. Hutan yang ideal haruslah memiliki tumbuhan dengan keragaman intraspesies yang tinggi, tentunya bersumber dari campuran genetik bersilangan, kawin silang adalah mekanisme tumbuhan untuk mempertahankan spesies, ketika salah satu sifat genetik dalam satu spesies tidak dapat bertahan maka setidaknya spesies yang sama dengan sifat genetik berbeda dapat bertahan untuk melanjutkan generasi. Peramuan oleh serangga dan pemencaran oleh hewan adalah mekanisme yang digunakan untuk mengatur persilangan genetik.
Perubahan iklim menjadi ancaman serius bagi sifat genetik tumbuhan yang tidak adaptif terhadap perubahan, baik kekeringan yang panjang (El-Nino) ataupun kebasahan yang panjang (La-Nina) sama-sama menggerus sifat genetik spesies tertentu. Ketika satu sifat genetik tidak dapat bertahan ditengah perubahan maka diperlukan sifat genetik lainnya yang lebih mampu beradaptasi, dalam hal ini tentunya diperlukan sifat genetik yang telah terekspresi dan teruji dalam ekologi berbeda. Pemencarlah yang membawanya dalam ekologi berbeda dan penyerbuklah yang meramunya menjadi genetis yang dapat menghadapi ancaman.
Gambaran tentang penyerbuk dapat disaksikan dalam Film animasi berjudul “Epic” (2013), film tersebut memberikan sedikit gambaran kepada kita tentang begitu sibuknya para pengatur hutan, dikatakan oleh professor Bomba (peran utama dalam film tersebut) bahwa didalam hutan terdapat makhluk yang sangat sibuk dan tak terlihat di dalam hutan, mereka menjaga hutan dan menjamin keberlangsungannya.
Selain film Epic, Film “Bee Movie” (2007) juga menjadi cara lain dalam memahami pentingnya penyerbukan di dalam hutan, keberhasilan Barry (pemeran utama film Bee Movie) memenangkan hak atas madu dari manusia, membuat kaumnya malas mengumpulkan madu, hal tersebut justru menjadi bencana bagi tetumbuhan dan lebah itu sendiri. Akhirnya Barry menjadi polinator pertama yang kembali memprovokasi kawanannya untuk mengambil nektar di dalam kelopak bunga.
Selain film tentang tentang penyerbukan ada juga film yang membantu kita berkhayal tentang pemencaran, mari sejenak kita mengingat tentang Film animasi Ice age (2002) yang menggambarkan tentang pemencaran, difilm itu menceritakan tupai Scrat yang selalu mengejar buah acorn, film ini setidaknya menggambarkan sifat tupai Scrat yang menjadi pemencar tumbuhan yang bernama lain kenari itu. Scrat kemudian terkenal sebagai pemencar kenari ke seluruh dunia setidaknya dalam film itu.