Mohon tunggu...
ERWAN RISTYANTORO
ERWAN RISTYANTORO Mohon Tunggu... -

Aku membaca zaman, Aku membaca semesta, Aku bersama kompas,

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar Tanpa ’Anu’ (’Anu’ II)

25 September 2012   07:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:44 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Setelah belasan tahun mencari-cari, tak kunjung menemukan hasil, dan nyaris dalam keadaan kuldesak, akhirnya pencarian saya berakhir dalam ’transkripsi panas’ kasus Cicak vs Buaya yang dimuat oleh Harian Kompas, medio 2009, saat kasus itu menjadi soroton tajam media dan masyarakat. Dalam transkripsi itu saya menemukan tiga kata ’anu’. Kata aneh nan ganjil yang terkonstruksi dari huruf ’a’, ’n’, dan ’u’ itulah yang saya cari-cari bertahun-tahun.

Tiga kata ’anu’ dalam transkripsi itu adalah: (1) ”Uh .. kemarin Pak Ritonga dianu itu, Pak Ritonga ngamuk soalnya dia janji kan .. kok dia yang nyelewengkan. Nggak berani dia..”, (2) ”Masalahnya gini lho, Truno itu minta itu .. tv di kontak hari supaya besok, anu .. counter, counternya dari Anggoro gitu.”, dan (3) ”Ke Edi itu … ke Edi itu anu, Mas .. dia yang .. dia juga tahu kasus ini gitu loh, Mas..”

Dalam berpuluh tahun sejarah pers, perbukuan, dan kesusastraan Indonesia, kata ’anu’ ini tidak pernah bisa saya lacak. Tak ada buku yang mengekalkannya dengan tinta dan tak satu pun wartawan pernah menuliskan dalam laporan jurnalistiknya, biarpun kata itu secara empiris keluar dari bibir sumber berita.

Tentu saja, kemunculan transkripsi ini melegakan saya. Setelah belasan tahun mencari, kini saya telah mendapatkan bukti yang berkadar otentisitas sangat tinggi. Namun, untuk menyibak fenomena apakah sebenarnya kata ’anu’ ini, saya tiba-tiba bertemu dalam kuldesak berikutnya. Bagaimana ihwal kata ini dan kapan pertama kali muncul dalam masyarakat penutur bahasa Indonesia, tampaknya suatu analisis harus disajikan untuk memahaminya.

Melihat kata ’anu’ nyaris tidak pernah ditemui di buku-buku, majalah, koran, atau ragam dokumen cetak maupun digital lainnya, saya berani menahbiskan ’anu’ ini adalah fenomena anomali linguistik di ranah tutur. Para penutur ’anu’ tidak penah menyadari ketika sedang mengucapkannya. Kata ’anu’ rupanya telah begitu dalam menghunjam dan merasuk alam bawah sadar kolektif masyarakat penuturnya, termasuk sosok yang dikutip dalam transkripsi panas di atas.

Namun lebih dari itu, dalam kacamata keterampilan teknik berbahasa suatu masyarakat yang berkeadaban literal kuat, ’anu’ menjadi penanda jelas lemah dan buruknya abilitas bertutur artikulatif dan konseptual masyarakat Indonesia dalam ranah tutur. Bahkan dalam perspektif psikososiologis Frommian, ’anu’ bisa menandakan gejala yang –tampaknya--lebih gawat lagi.

Dalam kacamata Frommian ’anu’ membuktikan fenomena ”pelarian dari kebebasan” masyarakat kontemporer negeri ini (salah satu buku karya Erich Fromm adalah Escape from Freedom) di era hipermodern ini. Dengan pisau analisis ini, bisa dijelaskan bahwa kata ’anu’ bisa jadi pertama kali muncul bersamaan masuknya Indonesia ke dalam era poskolonial di awal kemerdekaan nasional pada tahun 1950-an.

Seperti pada masyarakat dan peradaban lain di dunia ini, kebebasan kadang dimanfaatkan secara berlebihan, ngawur, dan bahkan kebablasan (seperti juga reformasi yang dinilai oleh sejumlah kalangan terlalu kebablasan). Di masa-masa awal kemerdekaan itu rupanya penutur bahasa Indonesia seolah menemukan ”kemerdekaan”nya. Di tengah eforia itu, seolah siapapun boleh dan bebas dengan sebebas-bebasnya untuk berekspresi, termasuk berekspresi dalam ranah bahasa. Harus diakui, kebebasan dalam ranah politik saat itu rupanya turut menjalar, membias, dan merasuk ke dalam ranah linguistik, hingga akhirnya lahirlah sejenis anomali linguistik seperti kata ’anu’ ini.

Langgam dan sifat kata ’anu’amat selaras dengan nilai-nilai yang khas dari masyarakat yang gagap terhadap kebebasan yang baru diraihnya: lentur, iregular, kacau, tidak asertif, terlalu fleksibel, dan anti-kebakuan. Barangkali tidak aneh juga kalau kata itu muncul dalam hingar-bingar kasus beraroma koruptif seperti kasus Cicak vs Buaya.

Tapi, meski demikian, kita semua sebagai sebuah bangsa yang berkeadaban literal dan tetap senantiasa bertekad untuk berbahasa dengan baik dan benar, rasa-rasanya masih tetap harus bersyukur, karena pidato-pidato resmi dari pemimpin-pemimpin di negeri ini banyak yang masih dibacakan dengan didasarkan pada teks tertulis, sehingga ’anu’ tidak bisa muncul. Kalau saja tidak, kata ’anu’ itu pasti jatuh berhamburan. []

Ditulis oleh:
Erwan Ristyantoro
Translator Buku, tinggal di Solo, Jawa Tenga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun