"Maksud kamu?"
"Hehehe...maksud aku, nanti apa kata keluarga dia? Keluargaku juga pasti malu."
"Ya udah kalau gitu...Tolong lepasin aku," pinta Santi sungguh-sungguh.
"Yank apapun yang kamu minta, aku pasti berusaha buat memenuhinya. Tapi kamu sendiri tahu kan kemampuanku sampai di mana. Aku nggak bisa ngelupain kamu, aku inget kamu terus," tolak Rama untuk yang kesekian kali.
"Jadi aku harus gimana? Aku nggak sanggup menanggung rasa sakit ini terus, tapi aku juga nggak bisa menghindari kamu.."
Rama menggenggam tangan Santi lalu mendesah "Maaf..."
Rasanya jantung Santi seperti dihunjam pisau untuk kesekian kalinya mendengar bahwa Rama lebih memilih mempertahankan tunangannya daripada berjuang untuk mendapatkan dirinya. Tetapi gimana bisa ia membenci mantan kekasihnya itu kalau itu justru menunjukkan bahwa Rama itu laki-laki bertanggung jawab yang nggak mau mengingkari janjinya pada seorang wanita. Itu justru membuat Santi semakin kagum sama Rama dan semakin menginginkannya. Dan, satu-satunya kelemahan Rama yang ia lihat itu justru merupakan bukti bahwa Rama memang menyayanginya.
Sementara itu, Santi pun tahu betapa sebenarnya Rama juga menginginkan untuk bisa bersamanya, tapi demi rasa harga diri dan nama baiknya, Rama memilih untuk mengorbankan perasannya. Bahkan mengorbankan hidupnya. Santi sungguh nggak bisa membayangkan, jiwa seperti apa yang membuat Rama sanggup melakukannya. Apa dia pikir ia bakal tahan menanggung beban itu? Harus bersandiwara di depan istrinya nanti dan keluarga besar mereka untuk seumur hidup? Ia pikir ia bakal sukses jadi aktor dalam dunia nyata untuk selamanya? Ia pikir ia itu manusia super?
BERSAMBUNG......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H