Mohon tunggu...
Ervina Lutfi
Ervina Lutfi Mohon Tunggu... -

Seorang mahasiswa biasa di kampus yang biasa-biasa saja. S.Psi sebentar lagi. Sudah hijrah di www.ervina-lutfi.com semenjak akhir tahun lalu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Catatan ke-202

25 Oktober 2011   13:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:31 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kutulis surat ini kala hujan gerimis bagai bunyi tambur mainan anak-anak peri dunia yang gaib. Dan angin mendesah mengeluh dan mendesah. Wahai, sayangku Aku cinta kepadamu! Mungkin malam ini ingin kubilang sebenarnya aku mencintaimu. Saat hujan rintik-rintik turun mengalir pias, dan angin musim peralihan meniup senyap sunyi jejak-jejak kaki yang lalu-lalang kemudian hilang. Debu-debu pun raib. Aroma tanah basah ditingkahi pepohonan lapuk menyapa lembut cuping hidung. Rasanya.. malam ini semua berbeda. Mungkin malam ini ingin kubilang sebenarnya sejak lama aku memperhatikanku. Saat rona merah dan senyum malu-malumu mewarnai senja yang murung di tengah udara yang memanas. Kau.. seperti Jogja yang menyimpan elegi ketika diam-diam ada mimpiku di sana. Seperti hangat aroma kopi yang kuhirup di angkringan sembari menikmati senja bertemankan angin di ladang. Dan padi yang menguning membentuk ombak. Rasanya.. malam ini semua berbeda. Selusin malaikat telah turun di kala hujan gerimis. Di muka kaca jendela mereka berkaca dan mencuci rambutnya Untuk ke pesta. Mungkin malam ini ingin kukatakan semuanya. Tentang kenistaan dan perasaan bodoh ketika diam-diam kuamati langkahmu di tengah lautan manusia yang tengah membuncah. Ketika langkah-langkah kakimu begitu ringan membelah panas. Ketika seraut wajah dan senyummu menjadi dingin yang memecah gerah. Aku.. aku tentu saja ada di sana. Menikmati setiap langkah yang kau buat. Menikmati detik-detik seiring berakhirnya lautan manusia dan seketika menyadari bahwa kau tidak ada. Dan ekor mataku mengikuti sampai punggungmu hilang ditelan jarak. Aku bodoh ya? Lalu tumpahlah gerimis. Angin dan cinta mendesah dalam gerimis. Semangat cintaku yang kuat bagai seribu tangan gaib menyebarkan seribu jaring menyergap hatimu yang selalu tersenyum padaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun