Singkat kata ketika saya bertemu dengan ibunya secara empat mata, maka saya menjadi mediator yang menyampaikan semua permasalahan yg dihadapi AN. Saya melihat respon marah, kecewa dan sedih yang luar biasa ketika pertama kali ibu AN mengetahui hal ini. Ada pembicaraan cukup panjang yang terjadi saat itu. Tapi yang saya garis bawahi adalah kata-kata sang ibu yang ia ucapkan dengan penuh gejolak, "Selama ini AN adalah anak yang saya banggakan. Saudara dan teman-teman saya mengenal kami sebagai keluarga yang berpendidikan. Sekarang mau di taruh dimana muka saya ini?" Ia mengakhiri ucapannya sambil menyeka air mata.
Dua penggal kisah tadi cukup mengharu biru perasaan saya. Seorang ibu yang tangguh, yang tidak malu memiliki anak-anak yang cacat. Ia bersedia menerima mereka tanpa pretensi apapun, yang pastinya diringankan oleh Allah dalam menjalani hari-harinya. Di sisi lain, di hadapan saya ini seorang ibu dengan kisah berbeda berikut segala bebannya atas nama kehormatan keluarga. Ternyata cinta penuh tuntutan itu meletihkan dan cinta tanpa syarat membuat anak-anak kita tumbuh bahagia menjadi manusia sebagaimana mereka adanya.
Sumber bacaan/referensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H