Anak adalah anugrah yang unik dengan segenap potensi yang dimiliki. anak dilahirkan belum bersifat sosial. Dalam arti, dia belum memiliki kemampuan untuk bergaul dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus belajar cara menyesuaikan diri dengan orang lain.Â
Kemampuan ini diperoleh anak melalui berbagai kesempatan atau pengalaman bergaul dengan orang-orang di lingkungannya, baik orang tua, saudara, teman sebaya atau orang dewasa lainnya.Â
Psikologi bisa disebut sebagai ilmu yang paling cerdas meneliti dan berusaha menyingkap rahasia bakat manusia. Satu hal yang menjadi benang merah kesepakatan ilmuwan terkait bakat adalah kata "potensi". Kenyataannya, kita menemukan manusia-manusia yang sejak kecil memang terlihat luar biasa dan menjadi manusia yang menciptakan sejarah luar biasa.
Kesuksesan mengubah dunia, menyegel tinta sejarah tidak hanya hadir dalam diri mereka (bakat) namun juga buah kesabaran pendampingan orang terdekat mereka. Menyadari dan berhati-hati dalam mengembangkan potensi anak. Mari kita mulai dari hal paling sederhana, kesadaran adalah hal utama untuk menemukan posisi diri kita.Â
Kecerdasan, bakat dan kreativitas anak hanya bisa dilihat dari perkembangan anak di sekolah. Hampir tidak ada perbandingan lainnya. Anak juga bisa bosan, tapi orang tua bisa apa?Â
Frasa sederhana yang seringkali membuat orangtua menjadi sibuk mencari cara bagaimana mengembalikan motivasi anak. Beberapa dari orangtua malah bingung, ketakutan dan merasa bersalah. Merasa jika kebosanan anak berawal dari kegagalan orangtua gagal mencerahkan atau memperkaya keseharian anak.Â
Terkadang juga orangtua malah sedikit sinis dengan tidak mempercayai kebosanan anak. Sehingga dengan enteng memerintahkan mereka untuk bermain, mengerjakan tugas atau hal-hal lainnya.Â
Semua orang pernah merasa bosan. Saat terjebak lama dalam antrian, saat dalam perjalanan dan masih banyak lagi. Pengertian bosan adalah keadaan lelah dan gelisah karena tidak tertarik. Mengapa kebosanan juga terjadi pada anak-anak?
Para ahli menyebut hal tersebut sebagai kurangnya kontrol anak atas dirinya sendiri, mereka terpenjara dalam rutinitas yang padat. Anak-anak hidup dalam dunia di mana sebagian besar waktu mereka dikelola dan dijadwalkan.Â
Para peneliti menemukan banyak hal terkait dampak kebosanan bagi kehidupan, baik negatif ataupun positif. Kebosanan banyak terbukti berdampak pada kapasitas atensi, kesejahteraan emosional, dan telah dikaitkan dengan konsekuensi perilaku bermasalah.Â
Pada hal-hal kecil, kebosanan berdampak pada perilaku impulsive seperti terus menerus mengunyah makanan, sampai kehilangan kendali dan konsentrasi saat mengemudi. Itulah mengapa banyak dari kita lebih benci rasa bosan daripada sakit fisik.Â
Pada sisi lain, anak juga memberikan tanda bahwa mereka sedang jenuh dengan aktivitas kesehariannya, mereka menginginkan rehat (down time). Ini adalah hal pertama yang harus kita fahami. Kebosanan bukanlah hal buruk bagi anak, itu adalah pertanda bahwa anak perlu menciptakan sesuatu sendiri.Â
Biarkan anak-anak mencari dan menemukan sesuatu yang baru untuk dikerjakan dan memenuhi rasa bosan. Artinya, berikan mereka waktu untuk menyelesaikan kebosanannya.Â
Dengan memberikan waktu, mereka akan tahu bahwa kita menghargai mereka. Kebosanan adalah fenomena nyata kehidupan. Biarkan anak-anak mengalaminya, mereka akan tahu bahwa hidup tidak seperti alur rangkaian acara hiburan.
Memahami siklus konflik antara orangtua dan anak mungkin ada penyebabnya. Konflik anak dengan orangtua memang wajar terjadi. Usia, perbedaan visi, hingga gender adalah beberapa hal yang kadang mendasari timbulnya konflik.Â
Hampir semua manusia ingin memiliki keturunan, namun tidak semuanya siap untuk menjadi pengasuh bagi anak-anaknya kelak. Setidaknya kita bisa melihat fenomena keseharian di sekitar kita, tentang "kenakalan" anak-anak dan tekanan orangtua dalam mengasuh anak-anak mereka.Â
Konflik dalam pengasuhan antara orangtua dan anak merupakan hal biasa dalam kehidupan. Ini adalah jejak yang membuktikan dinamika hubungan diantara keduanya. Banyak diantaranya menjadi sebuah titik balik kuatnya hubungan orangtua dan anak, namun tidak sedikit yang menjadi sebaliknya. Anak-anak hampir selalu akan menjadi korban jika terjadi konflik dengan orangtua mereka.Â
Mereka tidak memiliki otoritas untuk membawa keinginan dan emosinya dipahami orangtua mereka, sedangkan orangtua dengan segudang pengetahuan dan pengalamannya memiliki otoritas penuh untuk selalu "menang" dalam konflik.
Pengetahuan dan pengalaman akan menjadi guide bagi orangtua untuk mengekspresikan perasaan tertekan dan frustasi saat berhadapan dengan anak mereka dalam sebuah konflik. Mereka bisa menekan dengan berbagai cara, mulai dengan intimidasi kontak mata, meninggikan suara, memberikan hukuman fisik sampai hukuman mengacuhkan anak-anak mereka.Â
Beberapa orangtua mengaku menyesal sesaat setelah konflik berakhir dengan "kemenangan" mereka. Kemudian mencoba memperbaiki hubungan dengan berbagai hal, mulai menjalin komunikasi yang lebih lembut sampai memberikan hadiah.Â
Sayangnya hanya sedikit dari resolusi tersebut yang benar-benar menyelesaikan masalah. Â Jika konflik adalah api, maka untuk menaklukkannya kita butuh pengetahuan tentang api.Â
Untuk mendapatkan pemahaman yang kaya tentang konflik pengasuhan, kita mulai dari bagaimana orangtua dan anak biasanya memandang, berpikir, merasakan dan kemudian berperilaku sebagai respon dari peristiwa yang penuh tekanan dan situasi penuh masalah. Konflik antara orangtua dan anak terjadi karena perbedaan pandangan, pikiran, perasaan dan respon perilaku antara keduanya. Itulah mengetahui siklus tersebut sangat penting bagi orangtua yang keseharian berhadapan dengan anak, entah itu anak sendiri ataupun siswa di sekolahan.
Secara umum, kita mengenal istilah bahwa anak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan karena mereka menginginkan perhatian, kekuatan dan juga kontrol. Anak membutuhkan perhatian dari orang disekitarnya, dia juga selalu menginginkan kekuatan dan kontrol penuh atas apa yang dia lakukan.Â
Jika tujuan utama kita adalah untuk mengajarkan anak mengetahui pilihan perilaku mereka, kita harus mulai dengan memberi contoh pilihan positif dari diri kita sendiri, terutama dalam hal bagaimana kita merespon perilaku anak-anak kita yang tidak diinginkan. Pemahaman siklus konflik membantu orangtua memahami peta yang lebih efektif mengatasi hubungan mereka dengan anak-anaknya.Â
Sebagai anugerah, semua anak harus kita yakini sebagai sesuatu yang terbaik untuk setiap keluarga. Nyatanya, banyak sekali orangtua yang mengeluhkan perilaku anak-anak mereka, mulai dari susah diatur, sampai melawan orangtua. Bahkan banyak di antara mereka yang terjebak pada kondisi frustasi dan pasrah (menyerahkan begitu saja anak-anak mereka) pada pihak sekolah. Â Ketika kondisi tersebut terjadi, tidak jarang pihak sekolah juga kedopokan mencari solusi. Jika dibiarkan, mereka takut perilaku tersebut mempengaruhi siswa yang lain, tapi jika diberi tindakan, orangtua tidak bisa lagi dijadikan acuan.
Sama seperti manusia lainnya, setiap anak ingin merasa baik. Persis seperti kita (manusia dewasa) anak-anak juga merasakan bahwa mengontrol diri sendiri bukanlah urusan yang mudah. Berhentilah menempatkan sekolah (pastinya guru-guru di sana) sebagai dewa penyelamat anak-anak kita.Â
Mereka tidak akan mampu mengembangkan potensi dan kepribadian anak-anak kita secara optimal tanpa ada kerja sama yang produktif dengan orangtua. Selain sebagai tugas setiap manusia, kecerdasan emosional disebut sebagai kecakapan/keterampilan.Â
Tidak ada satupun keterampilan yang tidak bisa dipelajari. Jika kita bersepakat dengan itu, artinya kita wajib menjadikan pengasuhan sebagai taman belajar bagi anak-anak untuk mendapatkan kecakapan tersebut.
Kemampuan sosial emosional nyatanya dapat diajarkan dengan mengidentifikasi lima kompetensi dasarnya. Mulai dari bagaimana mengajarkan anak untuk dapat mengidentifikasikan emosinya, lalu mengaturnya. Bahwa marah, senang, sedih, terkejut, takut dan nikmat itu memang ada dan dimiliki semua manusia. Masalahnya adalah apakah anak tahu bahwa mereka sedang marah? Apa yang harus mereka laukan ketika marah? Jadi, alih-alih balik memarahi mereka saat mereka melampiaskan kemarahannya, harusnya kita justru membimbing mereka untuk mengidentifikasi kemarahan tersebut. Kesehatan dan kecakapan emosi adalah dua hal yang saling berkaitan.Â
Manusia yang berhasil adalah manusia yang mampu menyeimbangkan tekanan internal dan eksternal. Tingkat keberhasilannya adalah mengambil keputusan yang tidak merugikan dirinya dan juga lingkungan sekitarnya. Perlu diketahui, bahwa marah adalah satu di antara beberapa emosi dasar manusia. Jadi jika kita hanya berkonsentrasi pada satu jenis emosi saja, maka kecakapan anak menguasai dirinya tidak akan sebaik jika jika mengenalkan semuanya pada mereka, terlebih membiasakan dengan berbagai cara mengontrolnya.
SUMBER : https://www.kompasiana.com/akhmadmukhlis27/5c4eabab12ae946dc53c7862/kapan-dan-bagaimana-mulai-bercerita-pada-anak,https://www.kompasiana.com/akhmadmukhlis27/5e2aaf6e097f3672982f1552/bagaimana-jika-anak-mulai-bosan, https://www.kompasiana.com/akhmadmukhlis27/5c7cdf89ab12ae2c781e4b3e/memahami-siklus-konflik-orangtua-anak, https://media.neliti.com/media/publications/223896-pengembangan-aspek-sosial-anak-usia-dini.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H