Seharusnya momen idul fitri dapat menjadi momen pemersatu umat yang lama terpolarisasi akibat rangkaian panjang kampanye.
Namun ironi terjadi. Saya menerima sebuah postingan facebook bahwa di sebuah masjid besar di Bandung terdapat khutbah yang mengandung ujaran kebencian yang dibakarkan kepada jamaah yang hadir.
Dalam posting tersebut, ia mengemukakan ada khatib shalat ied malah berorasi politik di atas mimbar. Menyerang pemerintah dengan menuduh KPU tidak jujur, pemilu curang, dan pemerintah bertanggungjawab atas korban tewas yang disebutkan 60 orang pada kerusuhan 21-22 Mei lalu.
Selain itu, khatib tersebut mendo'akan, "Jika 100 juta rakyat Indonesia yang merasa terzholimi berdoa, maka Allah pasti akan menurunkan adzab bagi pemimpin yang tidak adil ini".
Khatib tersebut bernama KH. Athian Ali. Iseng-iseng saya searching namanya. Beliau ternyata ketua Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS). Jejak digital tentang beliau pun tak hanya itu. KH. Athian Ali pun pernah mengapresiasi diangkatnya KH. Ma'ruf Amin sebagai ketua umum MUI pada tahun 2015.
Menurutnya KH Ma'ruf Amin memiliki kriteria ulama yang mampu memimpin MUI. Namun ketika KH. Ma'ruf menjadi Cawapres Jokowi, ia kini balik menyerang. Padahal sebagai sesama ulama, seharusnya semakin mendukung sosok ulama yang ia pernah puji-puji menjadi Cawapres. Â Tapi yang terjadi sebaliknya, dia malahan menyebarkan kebencian dan provokasi di atas mimbar. Tentu kita sangat menyayangkan fenomena ustadz atau penceramah yang gagal membangun jembatan rekonsiliasi antar sesama anak bangsa.
Tidak jarang ustadz atau penceramah menyerukan kebencian kepada pihak-pihak yang mereka anggap musuh di atas mimbar masjid atau majelis taklim. Selain itu, memprovokasi kerap kali dilakukan supaya tidak percaya terhadap institusi-institusi resmi negara atas ketidakpuasan kelompoknya.
Hal tersebut seharusnya lagi-lagi menjadi alarm peringatan bagi kita bahwa masjid sering menjadi pintu penyebar kebencian dan perpecahan umat. Kita tahu bahwa tuduhan kecurangan dalam Pemilu 2019 sedang diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) dan lpersidangannya akan dimulai sesudah Lebaran ini. Provokasi seperti itu bagaikan kompor yang mulai memanaskan kembali situasi politik yang sebenarnya sudah sangat reda dan dingin seperti saat ini.
Alih-alih terus menjaga kondisi bangsa tetap adem, khutbah seperti itu dapat memicu kembali kerusuhan seperti yang terjadi tanggal 21 dan 22 Mei. Sebagai anak bangsa sungguh kita bersedih hati melihat khutbah yang terus berupaya memperkeruh suasana pasca pemilu.
Ulama yang ada di Mimbar masjid apalagi dalam momen sholat Ied akan dianggap benar dan diikuti setiap kata-katanya sehingga membekas dalam ingatan jamaahnya. Ada pepatah guru kencing berdiri murid kencing berlari. Memasukkan pemahaman-pemahaman kebencian seperti itu akan menggiring umat yang mendengar untuk melakukan  langkah-langkah yang lebih ekstrem sebagai wujud ketaatan ajakan Sang Ulama.
Bayangkan jika ulama seperti ini terus menebar kebencian dan provokasi di setiap masjid. Jika ia menjadi penceramah di satu titik dalam sehari dengan jamaah ratusan orang, berapa banyak orang yang terpapar kebencian & provokasi dibuatnya. Apalagi jika ia berceramah dalam kurun waktu seminggu, sebulan bahkan setahun, berapa banyak pula yang akan menjadi korban diakibatkan oleh ceramah yang disesaki oleh kebencian.