Mohon tunggu...
Irfaan Sanoesi
Irfaan Sanoesi Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar seumur hidup

Senang corat-coret siapa tahu nama jadi awet

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islam "Wasathiyah" di Tiga Tahun Jokowi-JK

28 Oktober 2017   10:24 Diperbarui: 6 Desember 2017   12:07 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Azyumardi Azra dalam artikel opininya yang dimuat di Republika (25 Juni 2016), menyatakan bahwa jika berbicara tentang Islam wasathiyah (Islam moderat), representasi paling 'sempurna' adalah Islam Indonesia. Inilah Islam inklusif, akomodatif, toleran dan dapat hidup berdampingan secara damai, baik secara internal sesama kaum Muslim maupun dengan umat-umat lain. Lantas bagaimana potret Islam dan umat Muslim di tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK? Bagaimana pula Jokowi-JK mengelola umat Muslim yang menjadi kekuatan besar bangsa Indonesia?

Dalam praksis, Islam wasathiyah yang dicita-citakan mendapat banyak  tantangan. Terlebih setelah diterbitkannya Perppu Ormas. Narasi pemerintahan Jokowi anti-Islam dan anti-ulama serta narasi pemerintahan 'otoriter'  terus didengungkan oleh kader dan simpatisan ormas yang dibubarkan dan  lawan politik. Arus gelombang narasi Jokowi anti-Islam dan anti-ulama semakin besar menjejali lautan media sosial sehingga menjadi opini publik di berbagai obrolan warung kopi.

Tak berhenti sampai di media sosial, aksi unjuk rasa berjilid-jilid pun dilakukan dengan dalih rezim otoriter karena telah membubarkan ormas Islam. Amien Rais misalnya, menyebut Pemerintah Jokowi telah mendiskriminasi umat Islam dan mengkhianati para ulama. "Kalau Anda (Jokowi) melakukan itu berarti Anda melakukan perhitungan dengan Allah," ujar Bapak Reformasi tersebut dalam orasinya di Gedung DPR Senayan, Jakarta Pusat menolak Perppu No 2 Tahun 2017 tentang ormas menjadi undang-undang.

Jelas, stigma 'anti-Islam' dan 'mengkhianati ulama' terhadap Jokowi tak hanya akan menggerus elektabilitasnya, tapi juga akan menghambat program dan kinerja Jokowi untuk merangkul tiap komponen umat Islam dan membangun kekuatan ekonomi yang berbasis pada ekonomi keumatan. Bulan April lalu, Jokowi meluncurkan program pemerataan ekonomi, redistribusi aset, dan kemitraan yang dapat dimanfaatkan pondok pesantren untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Maka tak heran, jika Jokowi di tiap 'blusukan'-nya sering menyempatkan diri berkunjung ke berbagai pesantren yang tersebar di pelosok Indonesia.

Dengan demikian stigma 'anti-Islam' dan 'anti-ulama' yang dibangun oleh pihak-pihak tertentu dengan sendirinya tereliminasi dengan kunjungan-kunjungannya ke banyak pesantren itu. Apalagi dengan menjadikan pesantren sebagai target dan basis kekuatan ekonomi keumatan yang bisa membantu pemerataan ekonomi nasional.

Jokowi menyadari betul bahwa pesantren telah berkontribusi terhadap pengembangan dakwah Islam dan pendidikan untuk masyarakat Indonesia. Bahkan di sebagian pesantren, contohnya Pesantren An-Nuqoyah, Sumenep, melebarkan gerakannya di sektor pengelolaan lingkungan, penguatan ekonomi lokal, dan gerakan perdamaian.

Cita-cita mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tentunya harus kita dukung dan kalau bisa menjadi bagian orang yang berkontribusi. Pesantren berpuluh-puluh tahun selalu dinomorduakan oleh pemerintah, tapi sekarang begitu diperhatikan. Sebagai santri, penulis merasa bangga menjadi bagian dari pesantren yang akan menjadi poros kekuatan ekonomi keumatan. Namun, apakah Islam wasathiyah di Indonesia tadi akan tetap bertumbuhkembang setelah masalah 'perut' umat terpenuhi?

Penyebaran dan meningkatnya ekstremisme dan kekerasan menimbulkan korban nyawa dan kerusakan harta benda di banyak negara, tidak melulu disebabkan oleh kesenjangan ekonomi dan pemarginalan sosial. Tapi juga disebabkan oleh pemahaman keagamaan.

Karena itu, menurut Azyumardi Azra, guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, peningkatan moderasi jalan tengah Islam merupakan kebutuhan mendesak bagi kaum muslim. Di sini Azra mengutip Buya Syafii Maarif yang menyatakan, orang-orang radikal muslim sesungguhnya sangat minoritas di tengah lautan umat moderat. Kekuatan mayoritas moderat memiliki kekuatan untuk mengutuk kelompok radikal.  Namun sayang, lanjut Azra, kaum moderat lebih senang berdiam diri daripada melawan orang dan kelompok radikal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun