Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sahur Pertama Selalu Gudeg

2 Juni 2016   02:23 Diperbarui: 7 September 2020   21:48 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebentar lagi bulan ramadhan, bulan suci umat Islam. Bulan di mana penuh berkah dan ampunan bagi yang menjalankannya dengan penuh keikhlasan. Termasuk kami, saya dan istri tercinta. Istriku amat bahagia jika bulan suci ini tiba. Ia selain getol ibadahnya juga senang makanan khas Jawa, yakni Gudeg.

Gudeg baginya di bulan puasa seperti ritual yang tidak bisa diremehkan. Boleh dibilang tanpa gudeg, puasanya seolah hambar. Aku memakluminya. Entah darimana kebiasaannya ini muncul aku tidak pernah sekalipun menanyakan. Hanya turut senang saja ada kesukaan istriku yang tiap tahun mesti ditunaikan.

Tapi jangan salah. Ia hanya membeli gudeg saat awal sahur jelang hari pertama puasa saja. Selebihnya atau hari berikutnya hanya makanan biasa,  baik untuk berbuka puasa maupun sahur.

Istimewanya gudeg harus dibeli di salah satu pedagang dengan gerobak dorong yang di bulan puasa juga jualnya. Padahal di Jakarta, yang jual makanan ini terlampau banyak untuk dijumpai. Tapi ia menolak. Dan, pedagang ini biasa mangkal di salah satu sudut mesjid di antara pedagang makanan lainnya.

“Nanti sore antar beli gudeg ya mas. Buat sahur,”pintanya jelang hari pertama puasa di saat tahun pertama berumahtangga.

“Beli di mana?Jawabku setengah malas.

“Kita cari aja. Barangkali ada di sekitar mesjid Akbar. Di sana kan ramai yang dagang kalau mau puasa.”

“Ya, kan buat sahur tidak harus makan gudeg. Yang lain juga bisa.

“Sekali-kali mas. Lagipula tidak tiap hari kita bakal makan gudeg buat sahur.

Tinimbang berdebat soal gudeg, akhirnya akupun mengiakan, dan sore itu meluncur bersamanya ke tujuan. Putar sana, putar sini akhirnya ketemu yang jual makanan itu.

“Nah itu mas, Sepertinya jual gudeg,”jarinya menunjuk ke salah satu gerobak dorong dari sekian gerobak dorong yang berderet di sisi trotoar dekat mesjid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun