Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Itu Pagi di Bulan Syawal

2 Juli 2016   01:30 Diperbarui: 5 Maret 2020   19:15 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi itu di tanggal 1 bulan syawal sangat cerah. Angin berhembus pelan. Ditingkahi bunyi gemericik air yang terdengar dari sungai di seberang rumah di kampung halaman. Matahari juga tampak masih enggan menyinari. Sayup-sayup bunyi takbir menggema syahdu dari mesjid di ujung jalan sana. Beberapa orang, laki dan perempuan, berkopiah, dan bermukena, tengah menyusuri jalan menyongsong panggilan takbir itu. Anak-anak pun demikian.

Istriku juga tengah bersiap. Ia kenakan pakaian muslimahnya. Terlihat indah dipandang mata, diselingi wangi aroma parfumnya. Siapa pun sebagai suami pasti senang manakala istri berlaku seperti itu.

“Aku sudah siap, mas,”katanya tersenyum seraya membawa sajadah biru mendekat.

“Ayo kita jalan,”ucapku membalas tak kalah sumringah.

Kami pun beriringan menuju mesjid seraya berbisik pelan mengagumi keindahan bangunannya yang tampak dari kejauhan. Konon bangunan mesjid itu juga buah kerja keras swadaya masyarakat, yang ada di perantauan, dan di desa. Tak heran, mesjid ini juga menjadi kebanggaan masyarakat setempat.

Sedang bercakap itu, Kang Ucu, istri, dan dua anaknya mendekat, menyapa.

“Kapan datang?Tanyanya sembari mengulurkan tangan, menjabat ramah disusul istri, dan dua anaknya.

“Sudah dua hari ini Kang,”balasku diselingi kemudian dengan percakapan ringan, kami berjalan bersama ke arah mesjid.

Tidak dalam hitungan menit, kami sudah tiba. Istriku mengarah ke bagian barisan perempuan berbarengan dengan yang lainnya, di sisi sebelah kiri mesjid, terpisah. Aku ada di barisan kedua juga dengan jemaah lelaki lainnya.

Suara takbir kian jelas. Aku ikuti dengan khidmat. Pelan dan penuh kekhusuan. Keluar dari mulut juga hati secara bersamaan. Saling menyambung menyuarakan keagungan yang Maha Kuasa. Mesjid pun menggema oleh kalimat toyibah itu.  Hati siapapun pasti menggemuruh tatkala mendengarnya. Tak sedikit pula akhirnya yang meneteskan air mata.

Satu bulan berpuasa, dan 11 bulan hari biasa, tentu tiap orang tak luput dari salah maupun khilaf. Karenanya di hari fitri semacam ini memberi kesempatan semua orang untuk saling memaafkan. Lain tidak. Sudah diduga pasti itu yang ada dipikiran semua jemaah di mesjid ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun