Lazimnya selama ramadhan semua keluarga berkumpul di rumah untuk melakukan puasa, iftar dan sahur bersama.Â
Tapi ada kalanya satu anggota keluarga berada di lokasi yang berbeda karena alasan pendidikan maupun pekerjaan.
Dulu penulis pernah  berada di posisi yang berbeda dengan orang tua dan keluarga selam beberapa kali ramadhan antara tahun 1995-2002 untuk alasan pekerjaan, baik di suatu kota di Jawa Barat maupun di Kalimantan Timur.
Selama bekerja tentu puasa masih bisa dijalankn sebagaimana biasanya. Atau bahkan waktunya berbuka puasa juga demikian.Â
Namun begitu di saat tanggal tua dan upah yang diterima kian menipis, mau tidak mau cara yang rutin dilakukan untuk upaya hemat menunggu ditawari rekan kerja untuk buka puasa bersama keluarganya, syukur-syukur bila rekan yang lain pun menawari. Tapi untungnya selalu ditawari karena ketika itu masih bujangan dan merasa "kasihan".
Tidak cuma itu, keadaan semacam ini kadang diimbangi juga dengan cara kas bon pada warung langganan untuk dilunasi nantinya saat gajian.
Bagi penulis hal demikian sesuatu yang lumrah saja mengingat situasi dan kondisi finansial yang kadang alami pasang surut.Â
Sayangnya kreasi untuk menghemat dengan membuat masakan sendiri sebagai mana almarhumah ibu membuatnya, tentu tidak bisa. Paling-paling jika kepepet saat bangun sahur bikin mie instan rebus atau goreng saja seadanya. Juga diselingi masak air seperlunya.
Jadi memang siasati waktu buka ketika itu cuma bagaimana supaya nikmatnya tetap terasa meski bukan dengan kreasi hidangan yang dibuat secara mandiri.Â
Cukup dari warung meski kadang ngutang, atau tawaran teman. Lumayanlah daripada dengan manyun buka puasanya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H