Wacana penerapan sistim jalan berbayar elektronik (electronic road pricing/ERP) kembali digulirkan. Pemda DKI melalui gubernur telah menyinggung hal tersebut yang kini sedang dibahas di DPRD.
Tahun 2023 ini direncanakan aturan daerah (perda) pengendalian lalu lintas secara elektronik (PPLE) bakal disahkan.
Jika disahkan dan disetujui maka sejumlah titik ruas jalan di Jakarta akan dipasang piranti tersebut. Sebagai suatu aturan berupa peraturan daerah untuk tujuan sebagaimana Dinas Perhubungan DKI Jakarta sebutkan di tahun 2021 lalu, ialah di antaranya untuk menurunkan tingkat kemacetan.
Kemudian pendapatan baru dari sektor lalu lintas dan mempermudah batasi lalu lintas. Juga pengalihan moda transportasi kendaraan pribadi ke moda angkutan umum.
Menurunkan tingkat kemacetan, lewat kebijakan ERP ini akan menjadi komoditi baru bagi suatu kebijakan setelah kebijakan three in one, ganjil genap disusul dengan pembangunan MRT, penambahan armada TransJakarta, serta membangun jalan layang. Namun apa mau dikata kemacetan tetap tidak terurai hingga sekarang.
Sebagai pendapatan baru dari sektor lalu lintas, mengindikasikan bahwa orientasi dari kebijakan itu jangan-jangan sekadar untuk mencari untung dan laba semata bagi pemerintah dan atau pemda. Entah laba ini masuk ke PAD atau disetor ke pemerintah sebagai pendapatan non pajak. Upaya ERP semacam ini kadang rentan juga ditafsirkan oleh pengguna jalan secara politik jelang pemilu 2024.
Mempemudah batasi lalu lintas, tidak dengan membatasi atau menghentikan produk pabrikan kendaraan roda empat, khususnya, yang masuk ke wilayah Jakarta seperti mengada-ada. Sebab sebagian ahli sudah menyebut ruas jalan tidak sebanding dengan kendaraan yang lalu lalang setiap harinya.
Pengalihan moda transportasi kendaraan pribadi ke moda angkutan umum, tidak diimbangi oleh keteladanan dari pemangku kepentingan juga menjadi usaha yang sia-sia.
Bila saja teladan dari pemangku kepentingan (pemda dan forkopimda) itu konsekuen mensupport kebijakan mengurangi kemacetan dengan tidak menggunakan kendaraan pribadi, maka boleh jadi akan diikuti oleh masyarakat.
Bayangkan, mulai pegawai dari tingkat kelurahan, katakan seperti itu, secara masif hingga ke puncak pimpinan menggunakan transportasi umum, dengan sendirinya kendaraan pribadi bisa berkurang.