Dua ekor nyamuk melayang-layang di atas kepala gundul mas Ji. Sementara ratusan laron mengerubuti lampu neon di atas plafon.
Mas Ji sedang bersandar di dinding bata terkelupas sembari mengutak-atik angka di secarik kertas. Pulpen terlihat dijepit oleh  jari telunjuk dan jari tengah sebab jempolnya hilang. Cuma kelihatan keriput terlipat-lipat sisa dagingnya di bekas jempolnya berdiri.
Tentang jempolnya itu, kata mas Ji, pada orang-orang yang bertanya padanya, jempolnya buntung akibat terhimpit mesin plat baja di pabrik ketika ia bekerja dulu.
Tapi lain lagi cerita tetangga yang sudah lama kenal mas Ji. Â "Jempolnya buntung untuk lunasi hutang judi."
Entah mana yang benar yang jelas memang jempolnya mas Ji tidak ada. Ia terlihat agak kesulitan saat menggunakan pulpen berwarna merah itu.
Di sampingnya secangkir kopi manis panas yang barusan dipesan dari warung sebelah petakan rumahnya yang Ia sewa. Soal kopi manisnya, mbak Tun pemilik warung sudah berulangkali ingatkan mas Ji kalau minum kopi tidak dengan gula pasir.
Katanya, "kalau bisa tanpa gula sebab kuatir diabetesnya kumat, dan langsung drop seperti tempo hari yang bikin repot tetangga."
Mas Ji, bukannya terima kasih, malah bilang, " lagian kenapa ditolong."
Perihal kopi panas, ia tidak seruput lazimnya orang-orang, tapi ia langsung minum seperti kehausan atau malah mirip minum air mineral.
Saat itu sudah setengah cangkir ia tandaskan. Sisa setengah lagi  ia biasa minta mbak Tun untuk mengisi ulang dengan air termos.  Kadang jika kopi manisnya habis sekalian ampas kopinya juga ia telan.