Ketika aku menatap matamu lagi  bagai mata elang yang rakus untuk melahapku saat hujan deras mengguyur di senja itu. Aku berusaha menghindar dan berlindung di balik awan kecemasanku.
Apalagi bahasa tubuhmu tidak lagi aku kenal. Â Sementara hati ini sudah seperti kepingan kaca yang terserak dan bila terinjak bakal melukai. Untuk apa kau datang kembali?
Aku tidak tahu kemana kau singgah selama ini. Di sudut museum itu aku biasa menanti usai kerja untuk dijemputmu. Tapi kau tidak pernah sama sekali mengabarkan atau sekadar meninggalkan pesan di alat komunikasi.
Hari berganti, bulan berputar, dan lima bulan ini kau tiba-tiba ada di hadapanku di sudut gedung itu di bawah payung melangkah ke arahku seolah tiada ada rasa bersalah.
"Maafkan aku sayang."
Begitu ucapmu. Â Kau berkata lirih saat itu. Kau nyaris mendekat, dan aku memaksa jarak mundur satu langkah di depanmu.
Kau terus bicara dan aku diam. Kau malah memohon agar lupakan sementara ketidakhadiranmu selama itu. Lalu mengaburkan harapanku untuk meminta penjelasan yang meyakinkan tentang ketiadaanmu itu.
Kau terus menyumbat isi hati yang selama ini aku pendam dengan rayuan, dan bujukanmu supaya aku mengerti, atau aku jatuh kembali dalam pelukanmu. Tapi kali ini tidak. Aku butuh penjelasan.
Aku tidak mau lagi kau buai dengan segala pujian yang kau umbar. Apa yang kau katakan sudah tidak lagi sebagaimana yang kau utarakan pertama kali aku mengenalmu.
 "Aku perlu sendiri selama ini."
Katamu lagi begitu. Tapi aku tegaskan aku butuh kepastianmu agar kau tidak lagi berulah semacam itu. Aku memberikan kesempatan untukmu setelah aku menimbang-nimbang sungguh-sungguh.
Tapi mendengar kemudian apa yang aku curahkan, tatapan matamu tidak lagi seperti mata elang. Tapi redup dan berkedip seperti perkutut yang biasa ayahku pelihara di sangkar.
Kau tidak menyahut, hanya petir yang berulang-ulang menyambut ucapanku. Aku terus bicara, dan bicara hingga air mata mulai membasahi pipi ini.
Tapi apa yang bisa aku dengar darimu ketika itu?Tidak ada.
Hanya sebatas kata yang kau katakan,"aku belum siap untuk menjadi suamimu."
"O lelaki macam apa yang aku kenal selama ini. Kau tidak mau bertanggungjawab atas hubungan yang kau sendiri janjikan."
Rupanya ketidaksiapanmu itu karena kau mengaku kemudian sebagai lelaki beristri. Kau mendustaiku, dan aku terpedaya. Aku hanya dijadikan dan diposisikan sebagai pelakor olehmu, oleh orang-orang lain di sekitarmu, atau oleh semua orang.
Hatiku teriris, dan robek menganga tidak mungkin lagi bisa disembuhkan. Â Dan kau, lelaki sialan. Justru membalikkan badan untuk menjauh dariku melangkah entah kemana.
Padahal aku hanya mengabarkan,"sudah tiga bulan ini benih yang kau tanam ada di rahimku."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H