Tapi mendengar kemudian apa yang aku curahkan, tatapan matamu tidak lagi seperti mata elang. Tapi redup dan berkedip seperti perkutut yang biasa ayahku pelihara di sangkar.
Kau tidak menyahut, hanya petir yang berulang-ulang menyambut ucapanku. Aku terus bicara, dan bicara hingga air mata mulai membasahi pipi ini.
Tapi apa yang bisa aku dengar darimu ketika itu?Tidak ada.
Hanya sebatas kata yang kau katakan,"aku belum siap untuk menjadi suamimu."
"O lelaki macam apa yang aku kenal selama ini. Kau tidak mau bertanggungjawab atas hubungan yang kau sendiri janjikan."
Rupanya ketidaksiapanmu itu karena kau mengaku kemudian sebagai lelaki beristri. Kau mendustaiku, dan aku terpedaya. Aku hanya dijadikan dan diposisikan sebagai pelakor olehmu, oleh orang-orang lain di sekitarmu, atau oleh semua orang.
Hatiku teriris, dan robek menganga tidak mungkin lagi bisa disembuhkan. Â Dan kau, lelaki sialan. Justru membalikkan badan untuk menjauh dariku melangkah entah kemana.
Padahal aku hanya mengabarkan,"sudah tiga bulan ini benih yang kau tanam ada di rahimku."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H