Kecuali, dalam konteks pemilih usia tersebut ditemukan oleh pemilih adanya tindakan politisi parpol yang dipandang negatif, misalnya skandal korupsi atau skandal lain yang memiliki ekses menurunnya tingkat kepercayaan pemilih itu terhadap calon, atau parpolnya.
Kedua.
Calon merupakan entitas yang memiliki kedekatan dengan kaum pemodal. Hubungan politik antara calon dengan kaum modal sudah bukan lagi rahasia umum.Â
Sebagaimana lazim diketahui, ongkos politik yang dikeluarkan untuk mendanai proses politik pencalonan setingkat presiden, dan wakil presiden konon bukan lagi di kisaran angka milyaran, bahkan bisa hingga trilyunan.
Ongkos politik demikian boleh jadi digunakan untuk menggerakkan aktivitas meraih suara di masyarakat bawah.Â
Setidaknya, kebutuhan biaya kampanye maupun logistik untuk lancarnya aktivitas itu sebagai sesuatu yang kudu dipersiapkan matang. Kecuali itu iongkos politik tersebut bisa ditekan bila sang calon ini memang calon yang dikehendaki rakyat, tanpa syarat.
Ketiga.
Sebagai negeri yang mayoritas pemeluknya adalah Islam, maka calon dihadapi oleh suatu kenyataan politik, bahwa suara mayoritas pemilih adalah orang Islam.
Pada tingkat ini, suka atau tidak, mau atau tidak mau suara yang bakal dikehendaki tertumpu pada elemen yang menggerakkannya, yakni kalangan ulama, tokoh, maupun simpul agama tertentu  di tiap pelosok masyarakat itu.Â
Dari pengalaman proses politik pemilu capres cawapres, hal demikian sudah menjadi suatu keharusan. Apalagi bila direalisasikan dalam bentuk dukungan politik secara nyata dengan aksi dukungan yang disebarkan oleh media massa.
Dari ketiga elemen penting itu paling tidak, jejaring politik yang dipunyai calon yang berasal dari parpol tertentu, atau gabungan dari parpol tidak lagi membutuhkan konsolidasi politik ekstra. Sebab mesin politik demikian sudah berjalan dengan sendirinya.