Dokpri
Kontestasi pemilu menjadi perhatian unik masyarakat Indonesia. Siapapun bisa mengutak atik peluang kontestan untuk diprediksi bakal  maju menjadi calon. Entah itu anggota legislatif atau presiden, dan wakil presiden.
Bukan hanya prediksi sebagai calon, masyarakat juga sudah sampai untuk memetakan potensi dan peluang untuk menang calon yang diprediksi itu.
Namun begitu, prediksi dan ramalan yang sifatnya umum itu boleh jadi bisa benar, atau pun salah. Tergantung dari perspektif orang-orang tersebut yang didasarkan atas referensi yang diperoleh selama menjadi pemilih di pesta demokrasi ini.
Relasinya dengan tulisan ini, maka yang diuraikan adalah soal calon presiden, dan wakil presiden pada 2024 mendatang.
Perspektif untuk menilai potensi, peluang, dan menang atau kalah suatu calon presiden, dan wakil presiden itu pada prinsipnya, menurut pikiran awam penulis, tidak lepas dari tiga hal ini.
Pertama, calon merupakan bagian dari partai politik, kedua, calon merupakan entitas yang memiliki akses dengan kaum modal, dan ketiga, calon merupakan orang yang memiliki kedekatan dengan tokoh ulama sebagai representasi identitas keagamaan.
Pertama.
Sebagai bagian dari partai politik, entah itu sebagai kader parpol, maupun ketua, sudah barang tentu ia telah memiliki akar jaringan yang kuat di penjuru tanah air. Struktur parpol yang terjelma dalam basis aktivitas politik hingga tingkat ranting akan memudahkan konsolidasi, dan mobilisasi suara di tingkat masyarakat atau akar rumput.
Pada level ini, boleh jadi suara yang akan ditargetkan untuk diraih tertumpu pada suara generasi milenial dan z yang berusia 17 hingga 35 tahun. Potensi suara demikian, bukan tidak mungkin akan menjadi target yang diprioritaskan oleh sang calon lewat parpol di mana ia bernanung.
Selebihnya target suara pemilih yang ada di usia 35 tahun ke atas, sudah dipastikan dan sangat ditentukan oleh loyalitas pemilih itu pada parpol tertentu, dan juga calonnya.