Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kampung Para Juragan

11 Juni 2022   23:10 Diperbarui: 11 Juni 2022   23:11 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu aku katakan pada akhirnya dalam obrolan itu bahwa Tuhan telah mati, Putri bereaksi sedikit dengan mata tajam menatap, lalu beranjak pergi. Tiada lagi ia menoleh walau sebentar untuk memastikan bahwa aku tidak serius mengatakan itu.

***

Umpan cacing sudah dipasang di joran, dan Moko bersiap untuk mengayunkannya. Namun ia urungkan. Sebab Haji Koni dari kejauhan mengepalkan tangan kanannya ke atas, dan terlihat berteriak mengancam. Moko tidak mendengar teriakan itu,  namun begitu segera ia ambil langkah seribu sebelum haji pemilik empang ini mendekat.

Moko sudah menjauh, dan haji Koni ada di sisi empang yang baru tiga hari lalu ia tanam ikan nila kesukaannya. Ia menggerutu seolah butuh penjaga untuk mengawasi empang yang jauh dari tempat tinggalnya.

"Anak muda sialan. Seharusnya ia sudah waktunya bekerja di pabrik, atau cangkul sawah, atau bikin les pelajaran sejarah anak-anak SMA. Tapi ini malah mancing di empang orang. Katanya cari inspirasi, katanya butuh perenungan. Dasar!"

Wajar haji Koni marah. Sebab Moko, keponakannya itu, meski malas terbilang encer otaknya. Ia hanya perlu untuk diingatkan terus agar mau meninggalkan kebiasaannya. Tapi sayang semakin diingatkan justru makin menjadi. Dilarang di sini dia seringkali lakukan di empang orang lain.

Walau begitu, Moko sangat perhatian pada sepupunya Mida, anak perempuan tunggal haji Koni yang baru semester dua di perguruan tinggi. Haji Koni sangat beruntung, sebab meski masih satu tahun kuliah  Mida sudah ada peningkatan dari segi keilmuannya. Juga omongannya.

Tak jarang kala menghadapi tagihan utang dari bank, Mida bisa bicara luwes, dan meyakinkan untuk sekadar mengulur waktu pembayaran. Mida sudah punya rasa percaya diri menolong orang tuanya walau hanya bermodal kata-kata.

Bukan hanya itu, Mida juga sering didaulat untuk menjadi pembicara mewakili anak muda kampung sini. Paling tidak segala aspirasi dan potensi kampung yang bisa diberdayakan selalu ia uraikan panjang lebar. Runtut dan teratur bahasanya. Tidak cuma kunjungan dari instansi tingkat kelurahan semata yang ia sambungkan lidahnya warga, tapi sampai provinsi dan pusat pemerintahan.

Dan, kemampuan Mida itu tentu atas bimbingan Moko.

***

Suasana malam di kampung sangat sejuk dan terang. Bulan yang tampak bulat penuh juga terlihat jelas dari kejauhan.  Dari kejauhan itu pula Moko melihat bayangan dua orang perempuan berkerudung melangkah teratur beriringan. Samar-samar terdengar bincang mereka ditingkahi suara katak yang sedang kelaparan. Sekali-kali ada gelak tawa mereka. Dan, Moko malam ini sedang singgah di kediaman haji Koni.

Sebagai keponakannya ia patut untuk meminta maaf atas kelakuannya belakangan ini. Rasanya pamannya ini sudah banyak pula membantu dirinya di kala ia kesulitan.  Dan, haji Koni hanya memaklumi apa yang selama ini diperbuatnya kala ia utarakan permohonan maafnya itu. Meski begitu kebiasaan yang ada pada dirinya untuk mengail ikan di empang milik orang masih sulit untuk dihilangkan.

Di tengah berpikir itu, dan tiada disadarinya, Mida sudah ada di depan matanya, dan mengucapkan salam.

"O kau rupanya Mida. Darimana malam seterang ini?"

"Abang, tumben. Ini tadi  ada kegiatan di kelurahan,"balasnya sembari mengenalkan Putri, kawan kuliahnya di fakultas yang sama.

Moko tertegun, dan membalas perkenalan itu dengan gerak kedua tangan di dadanya. Ia hanya bisa tersenyum, dan membiarkan kedua perempuan ini memasuki rumah haji Koni. Sementara di teras, ia masih saja mengulum senyum sembari garuk-garuk kepala membayangkan paras manis kawannya, Mida, Putri.

Beberapa saat kemudian tanpa pamit ia meninggalkan kediaman haji Koni. Moko rasanya menganut ajaran jurig, datang tidak diundang, pulang tidak pamitan.

Sejak perkenalan itu, Moko tak mau lepas dari Putri. Atau Putri tak ingin dilepaskannya. Gayung pun bersambut, keduanya kemudian menjadi sepasang orang yang saling tertaut kedua hatinya. Segala macam perbedaan yang sejak mula dirasakan, pelan-pelan mulai banyak kesamaan. Dan, hubungan ini pun sudah menginjak hitungan tahun ke sekian.

Tahun ke sekian ini pula, Moko semakin matang di usianya. Ia sudah menjadi lelaki tulen tanpa joran. Yang ia lakukan sekarang memberikan pelatihan dan konsultasi ternak ikan di kawasan perkampungan sini. Dari kemahirannya ini pula kawasan perkampungan mengalami perubahan.  

Empang-empang yang dulu jadi sasaran isengnya kini makin meningkat dan tumbuh sebagai jalan produksi masyarakat. Hebatnya lagi, satu luasan empang ada yang dimiliki oleh 10 orang warga secara bersama, yang ia jadikan model kepemilikan aset produksi bagi peningkatan kehidupan ekonomi mereka. Soal bagaimana memiliki, mengelola dan pembagian hasilnya, Moko berpegang pada prinsip satu untuk semua, dan semua untuk kemajuan kampung ini.

Dan, Putri acapkali datang, untuk mendiskusikan upaya Moko yang bersikeras agar empang-empang yang ada ini juga tidak lagi dimiliki secara perorangan. Sebagaimana yang Moko lakukan dari satu luasan empang yang dipunyai 10 orang warga itu.

"Bagaimana mungkin empang pamanmu itu juga bakal dimiliki oleh orang lain?"

"Bisa saja dilakukan sepanjang ada kemauan para pemilik empang di sini untuk kemakmuran dan keadilan warga semua. Buktinya dari 10 orang warga itu. Mereka mau secara sukarela patungan untuk membeli satu luasan yang kini sudah terlihat hasilnya "

"Ya aneh menurut saya, bagaimana bisa patungan itu ada yang besar mengeluarkan biaya, juga ada yang kecil. Tapi hasinya dibagi rata. Aneh!"

"Tidak ada yang aneh. Ini kan kegiatan ekonomi bersama. Tidak ada unsur paksaan, dan tidak ada pula yang merasa paling besar, atau berkuasa sekalipun. Tidak ada."

"Tetap saja aneh. Kalau yang 10 warga itu karena sudah menjadi kesepakatan bersama masih bisa diterima akal sehat. Tapi yang sudah berproduksi dan milik masing-masing dari mereka  eh justru malah ingin juga di kelompokkan seperti 10 orang warga itu. Kalau modelnya koperasi barangkali logis. Bukan kepemilikannya itu."

Moko tersenyum mendengar tangkisan yang diutarakan Putri yang baginya seperti representasi dan sebagai jalan untuk mengetahui lebiih jauh pikiran warga yang memiliki empang-empang itu.

"Koperasi bisa saja. Tapi bagi saya 10 orang yang menjadi pemilik satu luasan itu juga adalah koperasi dalam bentuk lain,"kilah Moko.

"Maksudnya?"

"Mereka bekerja dari mereka, oleh mereka, dan untuk mereka. Hasilnya ya untuk mereka juga. Kalau saja tiap pemilik empang di sini mau juga melakukan hal yang sama, tentu hasilnya bisa dinikmati bersama. Tidak ada lagi monopoli maupun oligarki. Kampung sini kepemilikan empang bisa dimiliki secara berkelompok. Bukan mengelompokkan orang-orangnya saja. Kalau orang-orangnya saja yang dikelompokkan, tidak akan dinikmati hasilnya secara merata."

"Kan masih bisa dikelola juga walau empang itu masih dipunyai secara individu. Hal ini memang sudah umum berlaku di kampung mana pun. Tidak cuma di kampung sini."

Perbincangan itu pun semakin tajam. Putri justru merasakan kejanggalan yang diutarakan Moko selanjutnya. Jalan pikiran Moko seolah gagasan jadul yang sering ia temui dari buku-buku atau dosen ketika di perkuliahan. Zaman yang sudah milenial sekarang ini masih saja dimunculkan pikiran yang aneh menyangkut barang kepemilikan. Dibilangnya semua barang yang dijadikan sumber mata pencahariaan bisa dijadikan alat produksi bersama.

Namun ia tetap tahan, dan hanya diam saja kemudian. Tidak ingin panjang lebar lagi dengan segala macam gagasan yang aneh itu. Hingga di ujung kesabarannya ia kemukakan juga.

"Bagaimana dengan Mida. Kalau empang milik ayahnya, yang juga pamanmu itu dijadikan milik bersama secara berkelompok?Bukankah itu namanya merampok atau pasti dilakukan juga dengan kekerasan. Pasti Mida akan menolak jalan pikiranmu itu."

"Tenang. Tidak ada unsur kekerasan di sini. Atau hal negatif yang ada di kepalamu itu. Semua bisa dijalani dengan kepala dingin."

Moko berpanjang-panjang menjelaskan alur pikirannya pada Putri. Namun Putri tetap saja menolak pikiran itu yang menurutnya sudah kerasukan pola pikir zaman dulu. Pola pikir yang masih nyata-nyata disimpan untuk kemudian memecah persatuan di masyarakat kampung sini. Segala macam idiom kata-kata yang sudah ia pelajari di bangku kuliah, secara terang-terangan diungkapkan Moko.

Padahal Moko bukan lulusan fakultas yang menimba ilmu semacam dirinya. Ia lulusan fakultas pertanian, yang punya kebiasaan mancing, dan juga mengasingkan diri, seperti yang ia ketahui dari sepupunya, Mida.

"Aku tetap tidak setuju dengan cara berpikirmu itu. Ini pola pikir yang sudah keterlaluan. Apalagi bicara Tuhan!"

Putri bergegas pergi tanpa menoleh kembali ke arah Moko. Ia tinggalkan Moko yang masih tidak menyangka itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Putri.

***

Entah bagaimana caranya, Mida dan Moko telah mampu meyakinkan haji Koni, sekaligus ayah dan pamannya itu, dan warga lainnya yang memiliki empang untuk dijadikan milik bersama. Entah bagaimana pula cara mengelolanya, sehingga perlahan kehidupan ekonomi kampung ini pun meningkat pesat dibandingkan kampung lainnya.

Boleh dikata warga di kampung sini rata-rata sebagai juragan empang. Kekuatiran yang dirasakan Putri tidak terjadi.  Dan, semua warga merasakan manfaatnya.

Hanya saja Mida dan Moko punya keinginan untuk meluaskan cara semacam ini di kampung lainnya. Tapi apa mau dikata, cita-citanya untuk mensejahterakan masyarakat dengan model seperti ini hanya cukup sampai di sini. Belum tentu juga orang lain mau merelakan barang miliknya semacam empang atau tanah pertanian dijadikan milik bersama sebagai alat produksi untuk kemakmuran bersama.

"Nanti malah disebut ajaran aneh!"Bisik mereka berbarengan seraya tersenyum memandang warga yang sibuk menaikkan panen ikan ke atas kendaraan truk yang besar untuk didistribusikan.

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun