"Kata-kata adalah cerminan cendekia tidaknya seseorang. Semakin banyak kata yang diutarakan, maka semakin terlihat intelektualitasnya. Jadi bicara, dan berkata-kata sangat bermanfaat bagi kemajuan kampung yang ditempati sekarang ini."
Begitu kira-kira kepala kampung yang dipilih saat pemilihan kemarin itu senantiasa menggunakan jurus kata-kata untuk meyakinkan warganya.
Sebagian warga yang memilihnya setuju sekali pada ajimat kata-kata ini. Sebab mereka kebanyakan penganggur, dan pemalas. Maunya mengatur,dan sudah diatur. Maunya menyuruh, dan menolak disuruh. Maunya kerja yang gampang, kabur dari kerja yang susah, dan bakal menyusahkan dirinya.
Sementara yang sebagian lagi semakin tidak pedulikan omongan kepala kampung ini. Sebab apa yang selalu dikatakannya itu sama sekali tidak berarti, dan berguna. Apalagi menyangkut apa yang telah dikerjakan selama ini sebagai kepala kampung di sini.
Sekali waktu, Â pernah warga memintanya untuk turun langsung mengangkat sampah dari saluran got saat kerja bakti, dia mentah-mentah menolak. Katanya dia kepala kampung bukan tukang sampah. Ada juga diminta oleh emak-emak untuk sekadar membantu memegangi timbangan bayi pada kegiatan PKK, dibilangnya bukan tukang timbang.
Tapi jika diminta oleh pemilihnya untuk mengadakan lomba balap klahar, luar biasa senang, dan disetujui. Katanya supaya kampung ini terkenal, dan bisa tumbuh ekonomi rakyat, sebab akan banyak yang menonton lomba balap klahar ini.
Karuan saja yang tidak memilih dia semakin sewot. Lomba klahar di tengah pandemi malah bakal mengundang banyak orang untuk berkerumun. Padahal dia semestinya meminta warga untuk mematuhi protokol kesehatan semacam ini.
Sebagian warga ini mendesak untuk dibatalkan. Namun sebagian lagi minta diteruskan, dengan segala variasi alasan. Tapi akhirnya tumbenan juga, acara balap klahar dibatalkan.
Dipikir warga persoalan lomba balap klahar selesai, dan kepala kampung ini akan membuat garis kebijakan yang strategis, misalnya bersama-sama secara bergiliran tiap sabtu dan minggu, warga membersihkan got supaya tidak kebanjiran. Eh malah mengganti lomba balap klahar dengan lomba mewarnai.
Tentu saja warga masyarakat yang sebagian ini merasa heran, dan bingung. Dipikirnya warga masyarakat itu kebanyakan anak-anak PAUD atau TK?Tapi anehnya disoraki gembira oleh sebagian pemilih kepala kampung ini, bahwa ini ide brilian, spektakuler, dan mendunia.
Otomatis si kepala kampung ini membusungkan dada, dan berkata-kata juga bahwa ini untuk keindahan kampung di sini, sebagai warisan budaya nenek moyang. Sebab lomba mewarnai adalah heritage yang mesti dilestarikan.