Jalan panjang, terjal, dan berliku dirasakan mbok Nah saat ini. Ia tengah berbaring lemah di petak rumah kontrakannya. Pikiran rentanya menerawang jauh menembus bawah sadarnya. Â Ia mengenang jalan hidupnya ini. Sejak usia 10 tahun di kelas tiga SD ia sudah sebatang kara.
Orang tua, dan satu adiknya telah menjadi korban tewas musibah banjir bandang yang melantakan desanya beberapa puluh tahun silam. Ia masih mengingat itu sebagai ujian luar biasa yang diberikan Tuhan padanya.
Di kesendirian itu ia beruntung masih ada seorang famili yang tidak memiliki anak yang kemudian merawatnya di kota lain. Ia pun diurusnya. Tidak cuma bisa makan, tidur, dan dicukupi sandangnya, tapi juga diberikan kesempatan mengikuti pendidikan hingga tamat SMP. Kendati famiinya ini masih serba terbatas secara financial.
Usai itu ia tidak melanjutkan, tapi bekerja di pabrik benang yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Mbok Nah remaja bekerja sebagaimana biasa. Upah tiap minggu di tahun itu tidaklah besar sebagai buruh di bawah usia 17 tahun.
Namun begitu ia mesti ada kewajiban menyerahkan separuh upahnya untuk familinya itu. Ia pun mematuhi.
Lima tahun bekerja,sementara usia bertambah, familinya meminta agar ia segera menikah. Permintaan yang membuatnya serbasusah. Sebab diketahui olehnya lelaki yang bakal dijodohkannya itu juragan judi koprok yang perjudian di masa itu seolah legal di lingkungannya menetap.
Mbok Nah muda jelas menolak. Selain sudah punya bini tiga, selir dua, juragan judi koprok ini juga gemar minuman keras semacam Malaga. Di tubuhnya penuh tatto aneka rupa, kebanyakan bergambar perabotan dapur, seperti wajan, panci atau centong. Entah apa maknanya. Luar biasa sekali.
Tapi memang orang ini tidak pernah sekalipun melakukan kekerasan pada tiap istri, maupun selirnya. Pendek kata ia royal. Maklum cabang lapak judinya ada di beberapa tempat yang membuat istri, dan selirnya itu betah dikelonannya.
Juragan ini seperti yang dibayangkan mbok Nah mirip cara hidup para sultan zaman dulu di film-film maupun di mata pelajaran sejarah yang pernah ia dapat ketika sekolah SMP itu.
Karenanya ia bersikeras menolak. Sebab tidak ingin menjadi bagian hidup juragan judi koprok itu meski familinya memaksa, bahkan mengancamnya untuk mengusirnya dari kediamannya itu.
"Kalau kamu tidak mau dikawinkan dengan juragan itu, keluar saja kamu dari rumah ini sekarang!Kata Murad bin Kliwon tegas mengancam, suami Mitun binti Korun yang Mitun ini sebagai famili mbok Nah.