Bahagia itu tidak mesti mewah. Orang lain barangkali menilai kebahagiaan itu diperoleh lewat cara-cara yang bersifat materialistis. Namun siapa sangka, bahagia itu bisa dirasakan secara timbal balik yang bersifat sederhana, sekaligus bersahaja. Yakni, paket datang tepat waktu, dan kurir bergegas kembali dengan senyum, dan tawa.
Senyum, dan tawa yang ditunjukkan juga beralasan. Oleh karena ada sesuatu hal yang dirasakan satu sama lain punya nilai yang sama. Sama-sama mengetahui, dan sama juga pernah menikmati. Â Terlebih bila yang diketahui, dan pernah dinikmati itu sejenis penganan yang memang sangat jarang dijumpai di Jakarta sekarang ini.
Dari situlah, di tengah guyuran rinai hujan yang membasahi jaketnya sang Kurir tetap merasakan kehangatan tatkala menuntaskan tugasnya mengantarkan paket yang saya punyai.
Ketika itu senja diselimuti rinai hujan yang membuat urung tetangga untuk keluar rumah. Sementara tak jauh dari jalan terdengar suara deru motor di muka gang buntu yang mulai terhenti. Selanjutnya untuk beberapa saat tidak terdengar lagi suara apapun. Hanya bunyi gemericik rinai yang jatuh pada talang air milik tetangga.
Saya tengah melakukan aktivitas ringan di sore itu dengan membaca buku sastera. Segelas kopi, dan kue rangi menjadi teman ala kadarnya. O ya kue rangi ini sejenis kue berbahan sagu, yang dimasak dengan cetakan semacam kue pancong. Kue ini dijual abang gerobak dorong yang masih menggunakan kayu untuk bahan bakarnya. Â Kenapa?Kata si Abang agar kue ini tidak lengket dicetakannya.Â
Ketika membeli juga saya perhatikan bagaimana si abang melakukan kerjanya ini. Pendek kata sekitar 10 menit, kue rangi itupun sudah diangkat, dan kemudian diolesi cairan kental berupa gula jawa. Rp5000 harganya, dan saya sudah bisa menikmati kue yang konon kue jadul dari Betawi.
Baru beberapa halaman buku dibaca, terdengar dari muka rumah teriakan kurir JNE. Katanya,"paket, paket!"Oleh karena di gang buntu ini rapat rumah, maka saya abaikan teriakan itu. Boleh jadi teriakan itu ditujukan untuk tetangga yang ada di hadapan. Namun sekian detik kemudian teriakan justru semakin keras. Saya pun membuka pintu, dan kurir itu tidak teriak lagi. Di saat yang sama, rupanya tetangga juga membuka pintunya untuk sekadar memastikan.
Kata kurir,"betul ini rumah nomor 28? Bapak Erusnadi?"
"Betul itu, mas."
"Saya cari-cari tadi nomor ini tapi gak ketemu. Ngacak nomornya pak?"
"Bukan ngacak, dulunya teratur. Tapi karena banyak rumah petak yang sudah dibeli jadi nomor rumahnya ikutan dikecilin."