Ibu biasa bilang hidup itu mesti sederhana. Tak usah berlebihan, dan kemaruk. Cukup punya sandang, pangan, dan papan. Selebihnya anggap sebagai bonus kerja keras. Dengan begitu apa yang dijalani menjadi ringan. Ingat itu baik-baik, dan camkan.
Aku biasa manggut, dan tertunduk mendengarnya. Tak kuasa juga menatap ibu yang demikian renyah, dan teliti tutur katanya. Ia acapkali mengulang-ulang kalimat itu. Biasa pula kalimat itu keluar tatkala bapak sedang di teras membaca buku pada petang hari.
Kata-kata ini pun keluar pas di awal bulan. Sebab waktunya bersamaan usai aku menerima upah dari pekerjaanku sebagai pimpinan di pabrik pakaian dalam. Makanya upah yang aku terima diserahkan pada ibu semuanya, kecuali untuk kebutuhan transport, makan, dan kosmetik.
Di tiap bulan itu juga ada saja keinginan ibu yang tidak bisa kutolak. Mentang-mentang kerja di pabrik pakaian dalam, ia selalu pesan kutang, dan celana dalam. Satu set tanpa jeda, dan rutin tiap bulan. Padahal aku berpikir untuk apa juga tiap bulan minta hal semacam itu. Rasanya tidak patut untuk jadi rutinitas, apalagi dikoleksi. Bapak juga rasanya tidak terpengaruh oleh tetek bengek semacam itu.
Karenanya di petang itu juga aku mendekati bapak untuk kesekian kalinya. Aku ingin bapak mengetahui apa yang selama ini aku alami. Aku ceritakan semua pada akhirnya. Namun bapak biasa saja. Seolah bukan sesuatu yang patut untuk dibicarakan. Kata bapak enteng, apa yang ibu minta atau butuhkan, anggap sebagai tanda bakti seorang anak. Sebagai anak semata wayang rasanya semua kebutuhan hidup masih bisa terpenuhi. Bapak sudah pensiun, dan pada siapa lagi untuk menambal kebutuhan sehari-hari jika tidak dari hasil kerja anak.
"Tapi saya perlu menabung, pak."
"Nak, tabunganmu itu sampai akherat kelak. Duniamu sederhana saja. Sepanjang tidak lapar, masih bisa berteduh, nyaman, dan aman."
Nyaris sama saja jawaban bapak, dan arah pembicaraan ini. Aku selalu di posisi mengabdi, dan jadi anak berbakti. Sebagai wanita dewasa aku juga ingin bisa hidup mandiri, dan keluar dari rumah ini. Namun bapak selalu mencegah, sementara ibu santai saja. Bergeming dengan apa yang menjadi mauku.
Aku selalu sulit keluar dari situasi ini. Entah kenapa. Membicarakan dengan teman juga sudah. Jalan satu-satunya memang mesti diam-diam menyelinap, dan hilang. Tapi dipikir lagi, pasti akan disusul lagi seperti dulu. Sebab aku masih kerja di perusahaan tersebut yang sudah dikenal betul oleh bapak, dan ibu. Mau undur kerja, belum tentu akan cepat datang pengganti. Jalani terus seperti ini, serba susah hati. Â Aku pasrah saja akhirnya.
***
Pada Sabtu sore tanpa sengaja aku melihat ibu di mal. Dari jarak yang tidak terlihat olehnya aku buntuti. Ibu kemudian naik ke lantai dua dengan eskalator sendiri. Persis di depan outlet gawai ibu berhenti seraya melihat-lihat yang ada di etalase. Namun matanya sekali-kali menoleh ke arah sisi kanan. Aku masih di jarak yang tidak terlampau jauh. Tidak berapa lama aku lihat ibu menyambut seorang lelaki, dan anak gadisnya seusiaku, 35 tahun. Mereka tampak akrab. Ibu juga tak sungkan untuk dipeluk oleh keduanya.