Sekian masa kau setubuhi isme-isme yang wara wiri pada literasi. Lalu kau merasa tajam isi pikiranmu. Padahal sesungguhnya tumpul.Â
Sebab kau masih merasa dan bukan hendak berpikir. Jika berpikir kau tentu akan melihat perspektif lain yang berbeda. Tapi justru kau kejar rasa itu.
Lihat. Dia tidak pernah menggunakan rasa di saat dia berpikir. Justru dia berpikir atas apa yang kau rasa.Â
Sehingga mudah bagi dia mengolah cara berpikirmu. Antara apa yang kau rasa dengan dia yang berpikir maka akan muncul ilustrasi diri serupa emosi.
Emosi yang keluar dari yang kau rasa membuat kerdil di mata orang-orang. Orang akan bertanya,"kau pakai akal tidak?"
Akal itu akan larung pada dunia dialogis, sebaliknya akal karam di dunia monologis. Terserah mana yang kalian pilih.
Setiap perbincangan antara kau dan dia boleh jadi berada dalam muara yang sama. Â
Sama-sama punya tujuan, dan kepentingan subjektif yang berbeda yang bersumber pada akal, pikiran, dan rasa pada diri masing-masing.
Karena itu aku tidak perlu berada di antara keduanya. Percuma saja.