"Di front garis terdepan pertahanan tampak terpasang kawat berduri karatan. Yang membentang dari sisi jalan aspal yang robek di sana sini. Dari lubang galian sedalam satu meter di dekat kawat itu barisan pejuang mengawasi pergerakan musuh. Secara bergantian mereka menanti sepanjang hari. Tidak siang juga malam.
Setiap terdengar bunyi di saat malam, apapun itu, dianggap sebagai peringatan. Entah Suara kodok, tikus, ular, babi hutan, bahkan suara monyet yang kelaparan yang nyaris sama dengan bunyi keroncongan isi perut pasukan. Mereka tetap menanti sembari mengawasi. Apa yang diawasi terbukti datang mengitari dari semua sisi. Di pagi itu.
Musuh menghantam dari jauh dengan senjata berat, dan ringan. Dari langit tak urung pesawat musuh meraung-raung melempar "sembako"  yang mengupas dalam kulit tanah.  Namun pasukan pejuang  tetap menanti saat yang pasti di parit-parit yang mulai basah oleh tetesan darah. Â
Musuh mulai mendekat. Â Pagar kawat digilas. Seketika teriakan serbu membahana. Pasukan republik merangsek musuh dengan kekuatan, dan senjata seadanya. Aroma kematian dan bau amis darah menyebar kemudian. Lalu pekik Merdeka menyudahi tragedi di front pertahanan itu."
Aku mencatat peristiwa itu dalam imajinasiku usai membaca satu buku epik masa perjuangan "45 lalu. Tidak tebal halamannya, namun utuh melukiskan rangkaian peristiwa demi peristiwa. Betapa heroik, dan mengesankan.
Di ruang tunggu suatu bank swasta ini aku menunggu antrian. Ada keperluan mendadak dari bos di kantor yang segera mesti aku selesaikan. Ketimbang bosan, maka buku ini tunai menemani. Tidak terasa, segera saja aku dipanggil untuk membereskan urusan tersebut. Tidak perlu lama, dalam hitungan menit tuntas. Sejumlah uang aku masukkan ke dalam tas ransel, lalu pergi meninggalkan tempat ini.
Sebentar kemudian telpon berdering. Ada suara di ujung sana, meminta kepastian.
"Sudah selesai, pak. Segera meluncur ke sana,"kataku.
Tidak makan waktu, setibanya di kantor aku ketuk pintu segera, dan masuk ke ruangan bos ini. Ransel, dan isinya aku serahkan kemudian. Di ruang ada dua pria perlente, necis, dan berdasi. Â Aku tidak tahu siapa mereka, dan tidak mau tahu. Tapi bos setengah bergurau bilang, mereka para penegak keadilan menjelang pensiun.
Aku menatap, dan mengangguk pada mereka, dan tersenyum tanpa kata, lalu keluar meninggalkan ruangan ini.
***