Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Suara Angin Kemerdekaan

10 Agustus 2020   11:34 Diperbarui: 12 Agustus 2020   14:43 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di mana-mana di semua penjuru wilayah sang merah putih dikibarkan. Agustus menjadi bulan istimewa. Masyarakat diajak untuk mengibarkannya. Sekadar mengibarkan. Itupun jika angin tertawa berderai-derai menghembus, dan mau mengabarkan rasa bangga pada masyarakat negeri ini. Masyarakat pejuang yang angin pun ketika itu menjadi saksinya.

Saksi atas pengorbanan para pejuang dulu.

Pejuang yang tidak hanya merebut kemerdekaan kembali pada peristiwa revolusi 1947-1949, tapi juga peristiwa Dwikora 1963, bahkan 1975 di Seroja Timor Timur. Mereka ikat dwiwarna di kepala, di lengan, juga di ujung bambu runcing , maupun moncong senjata. Tak ada kata gentar. Selagi sumpah sudah diucapkan, maka pantang surut untuk mundur ke belakang.

Angin pun tahu, siapa pejuang sesungguhnya itu.

Pejuang yang sesudah semua itu diraih ke pangkuan ibu pertiwi, kembali berkarya dan berdedikasi untuk di negeri di semua lapangan kegiatan. Ada yang beruntung, bahkan tidak sedikit yang "buntung". Para pejuang itu dihadapi kenyataan sesungguhnya untuk sekadar bertahan hidup. Tapi mereka tetap maju sebagaimana semangat yang telah terpatri dalam jiwa raganya.

Angin mendengar itu, dan enggan membisikkan desirnya.

Desir angin yang tidak lagi lembut, namun dipaksa oleh keadaan untuk berhembus. Keadaan merah putih sang dwiwarna yang lecek, kumal, dan sobek. Di pasang pada bambu-bambu panjang yang lapuk seadanya, sekadarnya.  Angin tak ingin seperti ini. Ia mengajak untuk kibarkan merah putih itu di jiwa raga anak negeri. Di semua generasi. Tapi sayang, sebagian menyambut suara angin biasa saja. Suara angin cuma lewat di tepi pantai, di lautan luas, di puncak gunung, bahkan di atas langit sana.

 Angin pun bertanya," apa kabar 75 tahun Kemerdekaan RI?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun