Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tak Sampai Juga di Stasiun Tujuan

19 Juli 2020   17:47 Diperbarui: 21 Juli 2020   13:27 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dari Bogor Ibu."

"Lho kok naik dari Manggarai."

"Iya tadi saya ketiduran. Jadi terlewat, terus balik lagi ini."

"Tujuannya ke mana?"

"Pasar Minggu.  Ibu mau ke mana?"

"Depok."

Perbincangan ini pun terus berlanjut, dan kang Soleh sementara meminta ijin untuk pejamkan mata sebentar, dan bilang pada ibu di sebelahnya untuk membangunkannya di stasiun Pasar Minggu. Ibu ini pun menyetujui. Kang Soleh beralasan rasa kantuk yang dialaminya tidak sebagaimana biasa, seperti tubuh terasa sebentar dingin, kemudian gerah. Dan, ia memang merasakan udara seolah panas saat ini.

Dari Manggarai , kereta meluncur melewati Tebet, Cawang, Kalibata, hingga kemudian di stasiun Pasar Minggu ini pun kedua anaknya si Ibu yang masih usia delapan tahun, dan enam tahun mencoba mencolek dan membangunkan kang Soleh. Perintah ini dituruti dari ibunya sesuai pesan kang Soleh. Namun begitu tak kunjung ia tersadar. Bahkan si Ibu juga mencoba mendekatkan minyak PPO pada ujung hidung kang Soleh. Ia TETAP bergeming dalam lelapnya.

Penumpang lain tidak bisa berbuat banyak, hanya sekejap melihat kejadian itu sambil tersenyum. Hingga stasiun terlewat tidak banyak lagi yang bisa diperbuat oleh ibu dan dua anaknya ini. Hingga kemudian di stasiun Depok, mereka turun, dan meninggalkan kang Soleh tetap bersandar di kursi dengan nyenyaknya.

Stasiun demi stasiun terlewat hingga tiba di stasiun Bogor. Kang Soleh pun baru tersadar. Ia merasa menyesal mengapa rasa kantuk ini tidak bisa dilawan. Beruntungnya pikulan dan talas masih utuh, dan hanya terjual dua buah dari talas yang dibawanya. Tapi ia tetap bersyukur setidaknya masih ada yang membeli, dan entah untuk sisanya ini. Ia pun kembali ke kediamannya di jam 10 itu.

"Lho kang, kok masih banyak talasnya,"kata istrinya keheranan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun